Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia diprediksi akan menghadapi tantangan berat yang berlanjut hingga akhir tahun 2024, demikian yang diungkapkan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Sejumlah faktor, termasuk permintaan ekspor yang melemah dan banjir impor TPT di pasar domestik, menjadi penyebab utama permasalahan ini. Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyatakan bahwa kondisi ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi global yang masih terkoreksi, dipengaruhi oleh kondisi geopolitik yang tidak stabil dan daya beli yang belum pulih sepenuhnya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi baru diprediksi akan muncul pada awal 2025.
"Tahun 2024 masih menjadi tahun yang berat bagi industri TPT Indonesia dan negara lainnya. Kelihatannya ekonomi global baru membaik di awal tahun 2025," ujar Jemmy pada konferensi pers, tanggal 12 November 2023.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh industri TPT adalah penerapan trade barrier atau pembatasan arus perdagangan oleh sejumlah negara. Kebijakan ini bertujuan untuk menyelamatkan industri dalam negeri, namun, pada saat yang sama, membuat negara yang kurang mampu menerapkan trade barrier menjadi rentan terhadap banjir produk TPT impor.
Dalam menghadapi permasalahan ini, Jemmy menyambut baik kebijakan Post Border yang akan segera diberlakukan oleh pemerintah melalui revisi Permendag No. 25/2020 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan industri TPT, meningkatkan utilitas, dan menghindari keputusan efisiensi karyawan.
"Utilisasi industri TPT sangat rendah, dan kondisi perumahan serta pengurangan karyawan masih berlangsung akibat berkurangnya order," tambah Jemmy.
Sementara itu, kinerja industri tekstil dan produk tekstil semakin terperosok dengan terus berlanjutnya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai pabrik tekstil di penghujung tahun 2023. Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), menyebutkan bahwa permintaan produk TPT terus melemah akibat pasar domestik yang dibanjiri barang-barang impor.
"Data kami sejak Januari sampai dengan Oktober 2023, ada 7 perusahaan TPT melakukan perumahan dan PHK dengan total jumlah 6.500-an yang tersebar di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dan ini masih terus update bisa bertambah," ungkap Ristadi.
Meskipun demikian, Ristadi tidak dapat memberikan detail perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK massal karena banyak yang keberatan untuk diekspose, mengingat kaitannya dengan kepercayaan perbankan dan buyer. Dalam menghadapi situasi ini, dibutuhkan upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan serikat pekerja untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan melindungi industri TPT Indonesia dari dampak yang lebih besar.