Print

Pertumbuhan konsumsi produk manufaktur selama periode Natal, Tahun Baru (Nataru), dan Pemilihan Umum (Pemilu) telah menjadi sorotan sejumlah pelaku usaha. Meski ada optimisme terkait pertumbuhan konsumsi, pandangan dari sejumlah pemimpin asosiasi bisnis menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyoroti peningkatan konsumsi yang cenderung moderat. "Parameter penjualan ritel hanya naik sedikit, kurang dari 0,5% year-over-year dibandingkan bulan sebelumnya," ujarnya, mencermati pola pertumbuhan konsumsi yang lebih terukur.

Pendapat senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma G. Wirawasta. Meskipun terjadi kenaikan permintaan, hal ini lebih disebabkan oleh stok yang telah menumpuk, terutama dari stok impor yang masih tersedia di pasaran. Menurutnya, hal ini tidak berdampak signifikan dalam mendorong pertumbuhan industri secara menyeluruh.

Namun, pandangan berbeda datang dari Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Menurutnya, permintaan selama periode Natal, Tahun Baru, dan Pemilu dinilai sangat kecil. Jemmy mencontohkan pembuatan kaos untuk peserta Pemilu sebagai satu dari sedikit contoh permintaan, tetapi ukurannya relatif kecil dalam skala produksi manufaktur secara keseluruhan.

Di samping evaluasi terhadap pola konsumsi selama periode tersebut, sejumlah hambatan juga dihadapi oleh sektor manufaktur saat ini. Shinta Kamdani menyebutkan isu daya saing suplai rantai pendukung produksi dalam negeri yang masih menjadi perhatian utama. Reformasi struktural diperlukan untuk meningkatkan daya saing, khususnya dalam faktor-faktor seperti biaya logistik, suku bunga, energi, gas, yang masih dianggap relatif mahal di antara negara-negara ASEAN-5.

Dalam konteks rantai pasokan manufaktur Indonesia, ketergantungan terhadap impor bahan baku menjadi salah satu kendala utama. Hal ini menyebabkan keterbatasan dalam diversifikasi suplai bahan baku di pasar domestik dan kurangnya daya saing dalam hal ini. Faktor lain yang ditekankan oleh Shinta adalah peningkatan Indeks Capital Output Ratio (ICOR) dari tahun ke tahun, yang menunjukkan ketidakefisienan produksi manufaktur di Indonesia.

Menurut Shinta, tanpa transformasi yang signifikan terhadap isu-isu tersebut, sektor manufaktur Indonesia akan menghadapi kesulitan bersaing di pasar global dan Global Value Chains (GVCs) di masa mendatang.

Pemahaman atas tantangan ini perlu diiringi dengan upaya reformasi struktural yang lebih mendalam agar sektor manufaktur dapat tumbuh dan bersaing secara berkelanjutan. Evaluasi dan solusi terhadap isu-isu fundamental seperti daya saing, rantai pasokan, dan efisiensi produksi menjadi kunci dalam membentuk masa depan yang lebih baik bagi industri manufaktur Indonesia.