Print

Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 yang mengatur impor tekstil dan produk tekstil batik serta motif batik untuk keperluan instansi atau lembaga kementerian atau untuk kepentingan umum. Meskipun aturan ini dimaksudkan untuk mengatur impor, respons terhadap kebijakan ini memiliki variasi pandangan yang menarik. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengekspresikan keprihatinannya terhadap nasib para pengrajin batik, khususnya industri kecil menengah (IKM). Jemmy menyoroti bahwa kebijakan ini dapat membuka celah bagi masuknya kain bermotif batik, yang berpotensi berdampak negatif pada pengrajin batik, mayoritas di antaranya adalah IKM.

Pendapat senada datang dari Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, yang menganggap kebijakan ini tidak tepat. Faisal menekankan bahwa dalam kondisi di mana permintaan ekspor tekstil dalam negeri mengalami penurunan, pemerintah seharusnya memperluas akses pasar dalam negeri untuk produsen lokal. Alih-alih memotong akses ini, Faisal mendukung peningkatan akses pasar dalam negeri sebagai langkah yang lebih baik.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (Celios), Nailul Huda, mempertanyakan legalitas kebijakan tersebut. Huda menyoroti bahwa impor batik atau kain bermotif batik telah terjadi dalam skala besar, terutama dari China, yang telah mengakibatkan penutupan beberapa produsen batik dalam negeri. Dia menegaskan pentingnya penghormatan terhadap produsen batik lokal yang membuat karya dengan keahlian dan seni tangan, bukan hanya hasil cetakan.

Menurut Huda, pemerintah seharusnya mendorong penggunaan batik dari produsen lokal masing-masing daerah, daripada hanya memberi alasan seragam dengan kapasitas produksi besar sebagai justifikasi untuk mengimpor kain batik. Pandangan ini menunjukkan bahwa kebijakan impor ini memicu kekhawatiran serius terhadap kelangsungan industri batik lokal.

Perdebatan tentang kebijakan impor tekstil batik mencerminkan kekhawatiran mendalam akan nasib produsen lokal, khususnya IKM, dan menyoroti pentingnya mempertimbangkan keberlanjutan industri dalam pengambilan kebijakan perdagangan.