Print

Tingginya eksodus pabrik di kawasan DKI Jakarta telah menciptakan fenomena yang dikenal sebagai "pabrik hantu". Sejumlah pabrik, terutama di kawasan industri seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN), kini terlihat sepi dan terbengkalai karena pemiliknya mulai meninggalkan area ini untuk mencari upah yang lebih terjangkau di daerah lain. Berbagai bangunan pabrik, termasuk di Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), terlihat terbengkalai atau bahkan ditutup karena berhenti beroperasi. Beberapa di antaranya bahkan terdapat tulisan "Dijual/Disewakan" atau bahkan disegel karena tunggakan pajak daerah.

Pemilik usaha, terutama dari sektor padat karya seperti garmen, cenderung beralih ke wilayah lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang menawarkan upah yang lebih rendah. Fenomena ini telah mengubah lanskap industri di Jakarta, menyebabkan penurunan omzet bagi para pedagang di sekitar pabrik yang dahulu ramai.

Gelombang perpindahan pabrik ini sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu, terutama saat munculnya polemik terkait kenaikan upah di DKI Jakarta. Hal ini mempengaruhi penurunan omzet pedagang lokal dan mengakibatkan pengurangan aktivitas produksi di banyak pabrik.

Meskipun beberapa pabrik masih bertahan seperti PT Dodo Activewear I dan PT Hansae 6A di Jl Sumatera, kondisi mayoritas pabrik terlihat terbengkalai dengan gerbang berkarat, semak belukar yang tumbuh, dan dinding yang terlihat kusam.

Hengkangnya pabrik ini juga memicu kekhawatiran bagi para pekerja, dimana banyak di antaranya harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena keputusan manajemen untuk menutup pabrik atau berpindah ke lokasi baru.

Pada tahun-tahun sebelumnya, area ini dikenal ramai dengan aktivitas produksi dari pabrik-pabrik, namun saat ini jumlahnya semakin sedikit. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, menyoroti bahwa biaya produksi tinggi di Jakarta menjadi penyebab utama dari eksodus ini.

Menurutnya, tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jakarta, yang hampir mencapai Rp 5 juta, membuat sektor padat karya seperti tekstil sulit bertahan di sana. Para pelaku usaha terpaksa mencari lokasi yang lebih kondusif dan biaya operasional yang lebih rendah, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN), yang menegaskan bahwa penutupan pabrik bukan semata-mata karena biaya sewa atau pajak yang tinggi, melainkan karena kenaikan UMP yang signifikan setiap tahunnya.

Kementerian Perindustrian menyadari fenomena perpindahan pabrik ini sebagai hal yang wajar dalam upaya perluasan usaha dan penurunan biaya produksi. Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Eko S. A Cahyanto mengamini bahwa peningkatan daya saing perusahaan juga menjadi faktor dalam relokasi ini.

Di sisi lain, banyak kawasan industri di daerah lain mulai menyediakan fasilitas yang menarik bagi dunia usaha untuk berinvestasi. Beberapa wilayah sudah melakukan transformasi menjadi kawasan industri generasi 3-4, menarik minat industri untuk melakukan penyesuaian dan investasi di sana.

Fenomena "pabrik hantu" ini menjadi cerminan dari perubahan dinamika industri di Jakarta, di mana tingginya biaya produksi menjadi faktor dominan yang mendorong para pelaku usaha untuk mencari lokasi alternatif yang lebih ramah secara investasi.