Print

Industri global, termasuk industri pengolahan dan tekstil, kini menghadapi tantangan besar akibat ketegangan geopolitik yang terus memanas di Laut Merah. Konflik ini tidak hanya mempengaruhi stabilitas politik, tetapi juga menimbulkan dampak signifikan pada ongkos logistik, distribusi barang, dan kinerja ekonomi di berbagai sektor. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyoroti dampak negatif konflik di Laut Merah terhadap industri pengolahan. Ongkos logistik untuk distribusi barang ke wilayah Timur Tengah melonjak tajam, mencapai peningkatan hingga 3 kali lipat. Hal ini membuat daya beli semakin melesu, dan pasar domestik menjadi satu-satunya penopang terakhir bagi keberlanjutan bisnis.

"Masalah di Laut Merah membuat biaya kirim ke daerah naik sampai 3 kali lipat. Tetap market domestik rakyat Indonesia yang tetap harus dijaga," ujar Jemmy Kartiwa Sastraatmaja.

Namun, di tengah konflik geopolitik, industri tekstil Indonesia juga harus menghadapi polemik banjirnya barang impor, yang dapat mengganggu serapan pasar lokal. Jemmy berharap bahwa kebijakan baru, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, dapat membawa dampak positif dalam mengatasi tantangan ini.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Farhan Aqil Syauqi, menyampaikan bahwa pelemahan pasar ekspor dan domestik turut memperlambat kinerja industri. "Sekarang pasar ekspor sedang lemah karena freight cost ke Eropa juga mahal karena adanya hambatan di Laut Merah dan USA pun masih lemah pembeliannya karena terjadi inflasi," ujarnya.

Dalam konteks ini, pasar domestik masih dihadapkan pada produk impor yang murah dari China. Meskipun Permendag No. 36/2023 dianggap memenuhi kebutuhan pengusaha, masih terdapat celah potensi impor barang murah. Farhan berharap agar pemerintah dapat bertindak cepat untuk menyelamatkan industri tekstil nasional, mengingat kondisi buruk ini diprediksi akan berlanjut hingga akhir 2024 jika tidak ditangani dengan serius.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas), Fajar Budiono, menambahkan bahwa pertumbuhan industri kimia juga terkendala oleh pasokan bahan baku yang sulit akibat konflik di Laut Merah. Banyak maskapai kapal laut yang menghindari Terusan Suez, memilih untuk berputar melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan, yang berkontribusi pada beban ongkos pengiriman yang membesar dan kenaikan biaya produksi.

"Dengan penurunan arus lalu lintas di Terusan Suez karena gangguan masalah politik global, banyak bahan baku dan bahan penolong yang lebih lama datangnya," jelas Fajar Budiono.

Secara keseluruhan, konflik di Laut Merah bukan hanya menjadi ancaman terhadap stabilitas geopolitik, tetapi juga mengguncang fondasi industri global dan menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Tindakan cepat dan kebijakan yang bijaksana diperlukan untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan melindungi industri dari potensi kerugian yang lebih besar.