Pada bulan-bulan awal tahun ini, momok PHK massal terus menghantui pasar kerja Indonesia, khususnya di industri padat karya. Laporan muncul mengenai sekitar 1.500 karyawan yang diberhentikan di sebuah pabrik ban di Cikarang, sementara sektor lain seperti tekstil kesulitan untuk tetap bertahan. Tren PHK massal yang meresahkan ini menyita perhatian publik pada Selasa (16/1/2023) ketika video dokumentasi penutupan pabrik ban PT Hung-A viral di media sosial. Video tersebut menangkap momen ketika manajemen perusahaan secara resmi memutuskan untuk menghentikan operasinya, yang berujung pada pemecatan seluruh karyawan yang tak terhindarkan.
Seorang juru bicara dalam video menyatakan, "Semua orang di sini, termasuk saya, akan terkena dampak PHK besar-besaran ini." PT Hung-A Indonesia, sebuah perusahaan manufaktur ban asal Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1991, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap sektor ekspor negara tersebut, dengan mengirimkan sekitar 70% produksi bannya ke Eropa.
Kepastian adanya PHK massal tersebut kemudian disampaikan oleh Sarino, Ketua Serikat Pekerja Logam Federasi Pekerja Logam Indonesia (SPL FSPMI) Kabupaten/Kota Bekasi. Ia mengungkapkan, negosiasi antara serikat pekerja dan perusahaan sedang dilakukan untuk menjamin hak-hak pekerja yang terkena dampak. “Memang PT Hung-A akan ditutup pada 1 Februari 2024, dan seluruh karyawan akan dirumahkan mulai 16 Januari 2024. Setidaknya ada 1.500 pekerja yang terdampak,” kata Sarino, Rabu (17/1/2024).
Belum diketahui alasan penutupan pabrik ban PT Hung-A, namun Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) mengemukakan kemungkinan penyebabnya. Permasalahan seperti sulitnya prosedur impor dan menipisnya bahan mentah telah menjadi kekhawatiran utama. Selain itu, pembatasan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor juga menambah kesengsaraan industri ini. Aziz Pane, Ketua Umum APBI, menekankan perlunya penyederhanaan proses impor untuk memenuhi permintaan produk yang belum diproduksi dalam negeri. Ia juga mengkritisi lambatnya penerbitan Persetujuan Impor (PI) oleh regulator sehingga menyebabkan terhambatnya pemenuhan permintaan pasar.
Aziz Pane juga merujuk pada Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang akan berlaku pada tahun 2025, yang melarang impor produk yang berasal dari praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Peraturan ini memberikan tekanan tambahan pada perusahaan seperti Hung-A, yang mengekspor sebagian besar produknya ke Eropa.
Ancaman PHK massal tidak hanya terjadi pada industri ban, namun juga berdampak pada sektor tekstil. Industri tekstil telah menghadapi tantangan sejak tahun sebelumnya akibat lesunya permintaan ekspor dan lesunya pasar dalam negeri. Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), berpendapat inisiatif pemerintah untuk menekan PHK, seperti program insentif Kementerian Perindustrian, belum efektif. Anggaran yang dialokasikan untuk restrukturisasi mesin di 13 perusahaan kain dan percetakan pada tahun lalu dirasa tidak mencukupi.
Sementara itu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan kesulitan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih akan berlanjut hingga akhir tahun 2024. Proyeksi tersebut didasarkan pada melemahnya permintaan ekspor dan membanjirnya impor TPT di pasar dalam negeri. Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Umum API, mengaitkan prospek yang penuh tantangan ini dengan koreksi ekonomi global yang dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dan lambatnya pemulihan daya beli.
Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN), sebanyak 7.300 pekerja terkena PHK di delapan perusahaan sepanjang Januari hingga November 2023. Sejak tahun 2022, anggota KSPN yang mengalami PHK mencapai 56.976 pekerja dari 36 perusahaan di wilayah Jawa Barat, Banten, dan Banten. kota lain seperti Semarang, Pekalongan, Sukoharjo, Magelang, Demak, dan Karanganyar.
Ketika industri padat karya menghadapi tantangan berat, pemerintah didesak untuk mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi tantangan impor, menyederhanakan proses peraturan, dan memberikan dukungan yang lebih besar untuk mencegah PHK lebih lanjut. Jalan menuju pemulihan ekonomi bagi sektor-sektor ini tampaknya sulit, dengan harapan bahwa prospek yang lebih baik akan muncul pada awal tahun 2025.