Print

Industri ritel di Indonesia menghadapi tantangan besar pada semester II-2023 dan awal tahun 2024, menyebabkan kekecewaan bagi para pelaku industri tersebut. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor krusial yang mempengaruhi kinerja sektor ritel. Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan kunjungan konsumen adalah maraknya toko-toko thrifting impor ilegal dan bekas. Data dari Aprindo menunjukkan bahwa penjualan ritel mengalami penurunan sekitar 4%-5% pada semester II-2023 akibat persaingan dari toko-toko tersebut. Roy Nicholas Mandey mengungkapkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan industri ritel di Indonesia akibat dampak negatif dari toko-toko impor ilegal.

"Toko-toko thrifting produk ilegal dan bekas menggerus 4%-5% atas penjualan ritel dalam semester II-2023," ujar Roy Nicholas Mandey dalam wawancara  di Jakarta Selatan.

Selain itu, permasalahan lain yang masih meresahkan industri ritel adalah penggunaan dan pemalsuan brand atau merek tertentu. Praktik ini mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap produk-produk lokal Indonesia, karena banyak produk impor ilegal bercampur dengan barang bekas pakai, yang dapat menimbulkan keraguan terkait faktor kesehatan (hygiene).

Dukungan untuk pandangan Aprindo datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, yang menyatakan bahwa banyak peritel yang menunda atau membatalkan rencana pembukaan toko baru pada tahun 2024. Target optimistis APPBI untuk mencapai okupansi 90% pada tahun tersebut menjadi terancam.

Menurut Alphonzus Widjaja, selain dari maraknya barang-barang impor ilegal, penurunan target tersebut juga bisa disebabkan oleh peraturan pemerintah terkait revisi pembatasan impor. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa pengetatan arus masuk barang impor dilakukan sebagai respons terhadap keluhan dari asosiasi dan masyarakat terkait banjirnya barang impor di pasar tradisional, sepinya pasar tradisional, dan peningkatan penjualan barang non-domestik di e-commerce.

Namun, menurut Roy Nicholas Mandey, perubahan regulasi tersebut malah dapat mengancam keberlangsungan industri ritel di Indonesia. Pembatasan impor yang lebih ketat ternyata lebih banyak mempengaruhi impor resmi daripada impor ilegal, yang justru tidak terlalu disentuh oleh pemerintah.

Dalam menghadapi tahun 2024, banyak pengusaha ritel yang memutuskan untuk membatalkan pembukaan toko baru. Hal ini disayangkan, mengingat pertumbuhan industri ritel tidak hanya dapat bergantung pada toko yang sudah ada. Pembatasan impor yang diperketat dapat menyebabkan kelangkaan barang dan kenaikan harga, memberikan beban tambahan pada konsumen, dan pada gilirannya, memperlambat pertumbuhan industri ritel.

"Harus ada pertumbuhan signifikan melalui pembukaan toko-toko baru. Pembatasan impor ini akan menyebabkan kelangkaan barang dan harga yang tinggi, yang akan memberatkan konsumen," tambah Roy Nicholas Mandey.

Dengan demikian, perlu upaya bersama antara pemerintah, asosiasi ritel, dan pelaku industri untuk menemukan solusi yang dapat mendukung pertumbuhan industri ritel Indonesia dan melindungi kepentingan konsumen.