Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan bahwa kinerja industri tekstil Indonesia mengalami penurunan sebesar 30% pada tahun 2023 dibandingkan dengan periode pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021. Penurunan ini disebabkan oleh kebijakan lockdown yang menghambat impor produk, terutama dari China, yang membanjiri pasar domestik. Ketua API, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyatakan bahwa industri dalam negeri mengalami penurunan kinerja pada tahun 2023 karena diduga adanya praktik dumping dari China tidak hanya dalam sektor tekstil tetapi juga pada industri lainnya di Indonesia.
"Dumping dari China telah dirasakan oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Mungkin tidak hanya dalam tekstil, tetapi juga dalam industri lainnya. China menjadi salah satu pesaing utama di berbagai sektor industri," ujar Jemmy dalam wawancara pada Jumat (2/2/2024).
Menurut Jemmy, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan industri tekstil dalam negeri terhambat. Pertama, meningkatnya ketegangan geopolitik, yang tidak hanya terjadi antara Ukraina dan Rusia tetapi juga konflik lain di Laut Merah, yang mengakibatkan peningkatan waktu pengiriman dan harga pengiriman yang tinggi.
"Kondisi ini cukup kompleks. Impor bahan baku terhambat dan menyebabkan biaya tambahan. Ekspor Indonesia menjadi kurang kompetitif karena letak geografisnya yang membuatnya sulit untuk bersaing di pasar Eropa dan Amerika," jelasnya.
Kedua, lonjakan impor tekstil dari luar negeri, terutama dari China, yang membuat industri dalam negeri harus bersaing tidak hanya di pasar ekspor tetapi juga di pasar domestik.
Ketiga, rendahnya daya beli masyarakat Indonesia yang belum pulih sepenuhnya, terutama karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), yang membuat konsumen kurang memiliki daya beli.
Meskipun terjadi peningkatan PHK di industri tekstil pada tahun 2023, Jemmy optimistis bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dapat menjadi instrumen untuk mendukung pertumbuhan industri dalam negeri.
"Kita perlu melihat sejauh mana efektivitas dari Peraturan Menteri Perdagangan ini. Kita harus mencegah agar impor tidak berlebihan, karena hal itu dapat mengancam industri dalam negeri," tandasnya.