Industri manufaktur di Indonesia kini berada dalam tekanan serius, dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023 yang mengancam kelangkaan bahan baku polyester. Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan kekhawatiran bahwa kekurangan bahan baku dapat menghentikan produksi di belasan fasilitas manufaktur di tanah air. Peraturan ini, yang mengubah pengawasan impor dari post-border menjadi border, telah menjadi sumber kekhawatiran besar bagi para pelaku industri.
Sekretaris Eksekutif APSyFI, Farhan Aqil, menjelaskan bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut menghambat impor bahan baku penting seperti Mono Etilen Glikol (MEG), yang menjadi komponen utama dalam produksi polyester. Di tengah ketergantungan Indonesia pada impor untuk 90% kebutuhan MEG, industri polyester ditempatkan pada titik kritis, menghadapi ancaman terhentinya produksi selama 1-2 bulan ke depan.
Meskipun upaya telah dilakukan untuk berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian guna mempercepat proses izin impor bahan baku, namun masalah utama terletak pada penundaan impor yang disebabkan oleh kekhawatiran eksportir asal. Situasi ini tidak hanya berdampak pada industri polyester, tetapi juga memberikan hambatan serius bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yang tidak dapat memanfaatkan momentum imlek dan lebaran dengan optimal.
Kementerian Perdagangan (Kemendag), melalui Plt Sekretaris Jenderal Suhanto, menanggapi keluhan dari pelaku industri dengan menegaskan bahwa tujuan dari peraturan ini bukanlah untuk melarang atau memperketat impor, tetapi untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri. Meskipun demikian, pemahaman ini tidak meredakan kekhawatiran industri yang bergantung pada impor bahan baku krusial.
Permendag No.36/2023, yang merupakan hasil arahan langsung dari Presiden Joko Widodo, bertujuan untuk memperketat impor barang konsumsi dan produk jadi, dengan pertimbangan perlindungan industri dalam negeri serta keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, dalam praktiknya, peraturan ini menimbulkan dampak yang signifikan bagi industri yang bergantung pada impor bahan baku, seperti industri polyester.
Situasi ini memerlukan koordinasi dan langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk menyeimbangkan antara perlindungan industri dalam negeri dengan kebutuhan akan bahan baku impor. Kesinambungan produksi dan stabilitas industri harus menjadi prioritas, sementara solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada impor juga harus dikejar. Dalam konteks ini, dialog terus-menerus antara pemerintah dan pelaku industri menjadi krusial untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak terkait.