Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius yang mengancam kelangsungan hidupnya. Serangkaian dampak eksternal yang bertubi-tubi menimpanya, membuat kondisinya semakin rentan. Pekan terakhir menjadi saksi atas pelemahan rupiah dan fluktuasi harga minyak dunia, terutama akibat ketegangan di Timur Tengah. Tidak ketinggalan, sikap akomodatif bank sentral AS, the Fed, turut berkontribusi dalam menimbulkan ketegangan.
Mulai dari 14 Maret hingga 19 April 2024, rupiah terus mengalami penurunan nilai dari Rp15.575 per dolar AS menjadi Rp16.250 per dolar AS. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, rupiah menyentuh titik terendahnya di angka Rp16.285 per dolar AS pada 19 April 2024, mencapai level terlemah dalam empat tahun terakhir sejak April 2020.
"Konflik antara Israel dan Iran tidak secara langsung memengaruhi Indonesia. Namun, dampaknya tercermin melalui nilai tukar dan harga minyak," ungkap Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, pada Rabu (24/4/2024).
Kondisi ini menambah beban bagi industri TPT di Indonesia, khususnya dengan prospek kenaikan harga minyak akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
"Saat ini, pengaruhnya terlihat pada nilai tukar karena sebagian besar bahan baku impor kita menggunakan USD. Meskipun industri hulu masih bisa menjual produk dengan menggunakan USD, ini akan menjadi beban di rantai produksi hilir," jelas Redma.
"Jika kenaikan harga minyak berlanjut, ini akan menjadi ancaman serius karena langsung memengaruhi biaya bahan baku," tambahnya.
Sementara itu, pabrik-pabrik TPT di Indonesia berada dalam kondisi sulit.
"Dengan tingkat utilisasi di bawah 50%, kita dihadapkan pada pilihan sulit: tetap beroperasi atau menghentikan mesin produksi," ujar Redma.
"Meskipun saat ini belum terasa dampaknya karena masih menggunakan kontrak harga, namun jika kondisi ini berlanjut, kontrak bulan depan akan menggunakan harga baru," lanjutnya.
Hal ini mengindikasikan bahwa gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) masih menjadi ancaman bagi industri TPT nasional.
Redma sebelumnya memperkirakan bahwa setidaknya 1 juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya dalam industri TPT nasional. Penyebabnya adalah tingkat utilisasi yang terus menurun bahkan di bawah 50%.
Kondisi ini dilaporkan masih berlanjut hingga saat ini. Gelombang PHK di pabrik-pabrik TPT, termasuk industri alas kaki yang menggunakan bahan tekstil, terus berlangsung. Belum lagi, ekonomi AS yang belum menunjukkan pemulihan signifikan.
Gelombang PHK di industri TPT nasional dilaporkan telah berlangsung sejak tahun 2022 lalu. Berbagai faktor memicunya, mulai dari serangan produk impor yang merusak pasar domestik, dampak pandemi COVID-19, penurunan ekspor karena melemahnya ekonomi negara-negara tujuan ekspor, hingga perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi biaya produksi.
Stok di pabrik-pabrik TPT yang mayoritas berorientasi pada ekspor juga dilaporkan menumpuk, memaksa produksi dipangkas atau dihentikan sementara.
Kondisi ini tidak bisa dihindari berujung pada gelombang PHK. Beberapa pabrik TPT di Indonesia bahkan sudah menutup operasi, meninggalkan ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Misalnya, empat perusahaan di Purwakarta, Jawa Barat, dilaporkan telah tutup meskipun beberapa kegiatan administrasi masih berjalan. Operasional produksi sudah dihentikan dan pekerja yang di-PHK telah diberikan hak-haknya.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa dari tahun 2020 hingga awal 2023, ada 14 pabrik padat karya yang tutup, termasuk sebagian pabrik TPT.
Salah satu penyebabnya adalah serbuan produk impor, seperti yang dicatat oleh API Jawa Barat yang mencatat adanya tiga juta lembar pakaian impor yang membanjiri pasar domestik setiap harinya.
Tantangan ini juga diakui oleh Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Soetrisno, yang menambahkan bahwa saat ini industri TPT nasional dihadapkan pada serbuan barang impor dari China. Harga barang impor China yang terlalu murah membuatnya sulit bersaing di pasar domestik.
Namun, upaya penerapan trade remedies untuk melindungi industri dalam negeri terkendala. Kendati demikian, pasar ekspor juga mengalami penurunan karena biaya pengiriman yang meningkat, mengakibatkan harga produk meningkat dan volume pembelian dari negara-negara importir menurun.
Benny menegaskan bahwa sebagai akibat dari berbagai faktor tersebut, industri TPT nasional harus menyesuaikan volume produksinya dengan melakukan penyesuaian kapasitas, yang berpotensi berujung pada pemangkasan tenaga kerja.
Dengan kondisi yang semakin memburuk akibat pelemahan rupiah dan fluktuasi harga minyak dunia, industri TPT di Indonesia memasuki masa-masa sulit yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.