Print

Keputusan pemerintah Indonesia untuk merelaksasi aturan impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 7/2024 telah memicu beragam tanggapan, terutama dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI). Dalam perspektif APSyFI, kebijakan tersebut memberikan keuntungan bagi importir, yang kini mendapati keran impor terbuka lebih lebar, terutama terkait barang kiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Menurut Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI, keputusan ini seolah memberikan ruang lebih besar bagi importir dengan tidak lagi membatasi jenis dan jumlah barang kiriman PMI dari luar negeri. Hal ini disampaikannya sebagai sebuah keprihatinan, menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mungkin lebih menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional daripada bagi pekerja migran yang seharusnya menjadi fokus utama.

Salah satu poin krusial dalam debat ini adalah terkait aturan impor barang kiriman PMI yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 141/2023. Aturan ini memberikan pembebasan bea masuk hingga US$1.500 per tahun untuk barang kiriman PMI, yang dalam konteks praktisnya setara dengan 200 potong pakaian. Namun, hal ini telah disalahgunakan oleh beberapa pihak, terutama dalam bisnis jasa titip (jastip).

Dalam rangka mengatasi penyalahgunaan tersebut, Kemendag akhirnya memutuskan untuk membatasi jumlah barang bawaan PMI yang dikenakan pembebasan bea masuk menjadi lima potong baju atau celana. Langkah ini dianggap sebagai langkah yang lebih adil, menghindari penyalahgunaan fasilitas impor untuk kepentingan bisnis jastip. Dengan demikian, jika jumlah barang melebihi batas ini, wajar bagi penerima untuk membayar bea masuk dan pajak yang berlaku.

Namun, dalam pandangan APSyFI, relaksasi aturan ini sebenarnya tidak banyak memberikan manfaat bagi pekerja migran asli. Mereka umumnya tidak akan membawa barang kiriman dari luar negeri dalam jumlah yang besar, dengan perkiraan tidak lebih dari 20 potong pakaian setiap tiga tahun sekali. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa relaksasi ini lebih menguntungkan importir daripada pekerja migran yang seharusnya dilindungi.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan perdagangan tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga memperhatikan kepentingan para pekerja migran yang berkontribusi pada ekonomi negara. Regulasi yang seimbang dan adil perlu diterapkan untuk memastikan bahwa impor barang kiriman PMI tidak disalahgunakan dan pekerja migran tetap mendapat perlindungan yang layak.