Print

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tengah menghadapi tantangan besar dengan diberlakukannya relaksasi pelarangan dan/atau pembatasan (lartas) impor. Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024, yang mulai berlaku sejak 17 Mei 2024, menghapus persyaratan persetujuan teknis (pertek) untuk impor pakaian jadi dan aksesori pakaian. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi para pelaku industri tekstil nasional yang masih berjuang untuk pulih.

Pandangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menyatakan bahwa aturan baru ini dapat memperburuk kinerja industri TPT nasional. Sebelumnya, persyaratan pertek membantu memastikan bahwa produk yang masuk ke pasar domestik memenuhi standar yang ditetapkan, serta mempermudah pelacakan produk tekstil impor yang tidak sesuai standar. Menurut Jemmy, penerapan pertek merupakan praktik yang umum dilakukan oleh berbagai negara sebagai bagian dari pertimbangan teknis.

Jemmy juga menegaskan bahwa tidak ada keluhan dari anggota API terkait kesulitan dalam mengimpor bahan baku maupun barang penolong, meskipun ada anggapan bahwa bahan baku tekstil banyak tertahan di pelabuhan akibat kendala pertek. Namun, ia mengakui bahwa kinerja industri TPT hingga kuartal I-2024 masih belum membaik, terutama setelah diberlakukannya Permendag No. 8/2024.

Ancaman Produk Impor
Relaksasi lartas impor membuat produk pakaian jadi dan aksesori pakaian lebih mudah masuk ke Indonesia, yang bisa mengancam utilisasi sektor intermediate atau industri hulu TPT. Produk pakaian jadi dari luar negeri, terutama dari China, dapat membanjiri pasar Indonesia karena hambatan perdagangan yang lemah. China, sebagai produsen TPT terbesar di dunia, cenderung menyasar negara-negara dengan hambatan perdagangan yang rendah, seperti Indonesia.

Polemik Revisi Permendag
Revisi aturan impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah dilakukan tiga kali dalam dua bulan, dari Permendag No. 36/2023 menjadi Permendag No. 3/2024, kemudian menjadi Permendag No. 7/2024, dan akhirnya menjadi Permendag No. 8/2024. Revisi terakhir ini bertujuan untuk membebaskan sekitar 26.000 kontainer yang tertahan di pelabuhan, yang terdiri dari berbagai komoditas termasuk besi baja, tekstil, produk kimia, dan produk elektronik.

Namun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah tuduhan Kemendag bahwa penumpukan kontainer disebabkan oleh kendala perizinan impor melalui pertek. Kemenperin menyatakan tidak mengetahui isi dari kontainer yang tertahan dan menganggap bahwa yang lebih tahu adalah Ditjen Bea Cukai (DJBC).

Diberlakukannya relaksasi lartas impor melalui Permendag No. 8/2024 menimbulkan kekhawatiran besar bagi industri tekstil nasional. Tanpa persyaratan pertek, produk impor yang tidak sesuai standar berpotensi membanjiri pasar domestik, mengancam keberlangsungan industri TPT lokal. Di sisi lain, polemik antar kementerian mengenai penyebab penumpukan kontainer menunjukkan adanya masalah koordinasi yang perlu segera diatasi untuk menjaga stabilitas industri dalam negeri.