Kementerian Perindustrian (Kemenperin) baru-baru ini mengungkapkan tantangan signifikan yang dihadapi oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Relaksasi aturan pelarangan dan pembatasan (lartas) terhadap barang-barang impor yang serupa dengan produk lokal menjadi salah satu penyebab utama kekhawatiran ini. Padahal, menurut Adie Rochmanto Pandiangan, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia sedang berada dalam fase ekspansi dan menunjukkan pertumbuhan positif.
Pertumbuhan dan Tantangan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor industri tekstil dan pakaian jadi mencatat pertumbuhan sebesar 2,64% secara tahunan pada triwulan pertama 2024. Permintaan luar negeri untuk produk tekstil meningkat 7,34% secara tahunan, sedangkan pakaian jadi meningkat 3,08%. Stabilitas konsumsi domestik, didorong oleh faktor-faktor seperti Pemilu 2024, hari libur nasional, dan Lebaran, turut mendukung pertumbuhan ini.
Namun, relaksasi aturan impor yang diterapkan pemerintah menjadi ancaman bagi industri lokal. Pelaku industri khawatir bahwa produk impor akan kembali membanjiri pasar domestik, merusak daya saing produk lokal. Sebelumnya, industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan sepatu menikmati peningkatan permintaan sebesar 30-50% berkat penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Kekhawatiran Pelaku Industri
Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Bandung (IPKB), Nandi Herdiaman, dan pelaku usaha IKM alas kaki Bandung, Endang, menyatakan bahwa tanpa pengendalian impor, pasar domestik akan kembali dibanjiri produk impor, mengulangi pengalaman pahit sebelumnya. Hal ini dapat menyebabkan banyak IKM melemah dan bahkan menutup produksinya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, juga menyatakan bahwa pengendalian impor tidak efektif jika aturan relaksasi terus diterapkan. Redma menyoroti bahwa 85% dari 26.000 kontainer yang tertahan merupakan barang jadi milik importir pedagang, bukan untuk industri manufaktur. Hal ini menunjukkan kurangnya visi integrasi industri yang kuat di tingkat pemerintah.
Relaksasi Aturan Impor
Pemerintah kembali merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 melalui Permendag No 8/2024 yang berlaku mulai 17 Mei 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan bahwa relaksasi perizinan impor mencakup perubahan perijinan lartas untuk tujuh komoditas, termasuk elektronik, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, PKRT, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris, serta tas dan katup. Persyaratan pertimbangan teknis dalam penerbitan Persetujuan Impor (PI) untuk beberapa komoditas tersebut dihapuskan.
Dampak dan Harapan
Relaksasi aturan impor ini memicu kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap iklim investasi dan perkembangan industri tekstil dalam negeri. Adie Rochmanto Pandiangan dan Redma Gita Wirawasta menekankan perlunya pengendalian impor yang ketat untuk melindungi industri lokal. Mereka berharap pemerintah dapat kembali memberlakukan perlindungan pasar dari gempuran impor, baik melalui aturan teknis maupun kebijakan lainnya.
Dengan demikian, meskipun industri tekstil Indonesia menunjukkan pertumbuhan, tantangan besar dari kebijakan impor yang lebih longgar mengancam stabilitas dan keberlangsungan industri ini. Perlindungan terhadap industri lokal menjadi kunci untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan peningkatan daya saing di pasar global.