Print

Sejumlah pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki di Indonesia secara tegas memprotes kebijakan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Kebijakan yang mulai berlaku sejak 17 Mei 2024 ini dianggap tidak mendukung sektor usaha dalam negeri, bahkan dinilai membebani industri hingga memperlambat laju manufaktur nasional.

Penghapusan Persetujuan Teknis (Pertek)
Permendag 8/2024 menghapus persyaratan Persetujuan Teknis (Pertek) sebagai syarat persetujuan impor untuk komoditas tertentu. Dengan demikian, aturan yang sebelumnya mengatur masuknya produk impor kini tidak berlaku lagi, memudahkan produk-produk impor untuk masuk ke pasar domestik tanpa hambatan signifikan.

Reaksi dari Industri Tekstil
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi mematikan industri tekstil nasional. Menurutnya, tanpa adanya Pertek, barang-barang impor akan dengan mudah membanjiri pasar dalam negeri, yang pada akhirnya merugikan produsen lokal. Danang juga menyoroti ketidakpuasan terhadap penghilangan kewenangan Kementerian Perindustrian oleh Kementerian Perdagangan.

"Kalau tidak ada Pertek, kami akan kebobolan terus dengan barang impor yang masuk dengan sangat mudah," jelas Danang di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (3/6).

Kondisi Industri Tekstil Saat Ini
Sekjen API Jawa Barat, Andre Purnama, menambahkan bahwa kondisi industri tekstil nasional saat ini sudah dalam keadaan kritis, dengan tingkat utilisasi di bawah 50%. Banyak pabrik di Jawa Barat bahkan sudah tutup. Data dari World Trade Organization (WTO) menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara ekspor China ke Indonesia, dengan nilai mencapai USD 2,9 miliar. Hal ini mengindikasikan masuknya sekitar 1-2 juta potong pakaian per hari ke Indonesia, yang membuat industri tekstil lokal semakin terpuruk.

"Saat ini utilisasi tekstil nasional sudah berada di bawah 50%, bahkan tidak sedikit pabrik di Jawa Barat yang sudah tutup," kata Andre.

Implikasi Bagi IKM dan Industri Kecil
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Nandi Herdiaman, menyuarakan kekhawatiran serupa. Menurutnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan telah membuka lebar-lebar pintu impor, yang berdampak negatif pada Industri Kecil dan Menengah (IKM). Reseller yang sebelumnya bekerja sama dengan IKM secara tiba-tiba menghentikan kerjasamanya begitu Permendag 8/2024 diterapkan, memicu penutupan besar-besaran IKM garmen.

"Begitu kebijakan tersebut keluar, reseller secara tiba-tiba menyetop kerjasamanya dengan IKM. Dampak dari Permendag 8/2024 sudah terasa untuk IKM, lama-lama IKM garmen akan mati, 70% IKM akan tutup," terangnya.

Dampak pada Industri Alas Kaki
Ketua Gabungan Pengusaha Industri Alas Kaki Nusantara, David Chalik, juga mengungkapkan dampak negatif kebijakan ini. Menurutnya, industri alas kaki kehilangan banyak pesanan karena buyer lebih memilih memesan barang impor langsung daripada produk lokal. Ia menyebut Permendag 8/2024 sebagai kebijakan yang 'ugal-ugalan' dan berpotensi mematikan industri nasional.

"Begitu regulasi tersebut dibuka, tidak sedikit kawan-kawan industri kecil yang sudah dijanjikan pekerjaan terpaksa harus dibatalkan, buyer lebih memilih langsung memesan barang impor," terang David.

Harapan untuk Pemerintah
Para pelaku industri berharap pemerintah dapat mencabut Permendag 8/2024 dan mengembalikan kebijakan tersebut ke Permendag 36/2023 yang dinilai lebih mendukung industri dalam negeri. Kebijakan yang lebih ketat terhadap impor diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi industri lokal, khususnya sektor tekstil dan alas kaki, serta mempertahankan keberlangsungan usaha dan lapangan kerja di Indonesia.