Print

Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tantangan besar, menggambarkan situasi yang diibaratkan dengan peribahasa "besar pasak daripada tiang". Ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan ini menyebabkan banyak perusahaan tekstil terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Lonjakan PHK di Sektor Tekstil
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil terkena PHK dari Januari hingga awal Juni 2024. Data ini belum termasuk puluhan kasus PHK di perusahaan-perusahaan kecil. Presiden KSPN, Ristadi, mengungkapkan bahwa pemutusan kerja ini terjadi di berbagai wilayah industri tekstil. Contohnya, PT Alenatex di Bandung yang pada awalnya memiliki sekitar 2.000 karyawan, kini hanya tersisa 700 pekerja sebelum akhirnya tutup karena kesulitan keuangan.

Fenomena serupa juga terlihat di Jawa Tengah. Grup PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) memberhentikan sejumlah karyawan di tiga perusahaannya: PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex, dan PT Djohartex. Selain itu, PHK juga terjadi di PT Dupantex di Pekalongan yang mengurangi jumlah pekerjanya dari ribuan menjadi 700 sebelum akhirnya ditutup pada Juni 2024.

Penyebab PHK Massal
Rendahnya tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil menjadi faktor utama pemicu PHK massal. Banyak perusahaan yang merumahkan karyawan karena tidak ada modal untuk melakukan PHK saat pesanan sepi. Kondisi ini memaksa perusahaan untuk beroperasi hanya saat ada pesanan, yang menyebabkan ketidakstabilan cash flow dan akhirnya mengarah pada penutupan.

Tantangan Eksternal dan Internal
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengemukakan bahwa penurunan kinerja industri tekstil dalam beberapa tahun terakhir diperparah oleh pandemi COVID-19. Beberapa alasan utama melemahnya daya saing industri tekstil Indonesia antara lain:

Penetrasi Barang Impor: Impor produk tekstil dan pakaian jadi ke Indonesia meningkat tajam dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, terutama dari China yang memiliki keunggulan komparatif dalam bahan baku, biaya tenaga kerja, dan teknologi. Pemerintah China juga memberikan subsidi bunga dan pajak pada industri tekstil yang belum terisi ekspor, menambah tekanan pada industri tekstil Indonesia.

Kebijakan Perdagangan yang Kurang Menguntungkan: Kebijakan perdagangan Indonesia, seperti penandatanganan perjanjian kawasan perdagangan bebas, mempermudah impor yang malah menjadi ancaman bagi produsen domestik. Kemudahan impor tekstil melalui Kawasan Berikat sering disalahgunakan oleh importir, membanjiri pasar domestik dengan produk impor.

Masa Depan Industri Tekstil
Dengan berbagai tantangan yang ada, masa depan industri tekstil Indonesia tampak suram. Untuk bisa bertahan dan bersaing, diperlukan kebijakan pemerintah yang mendukung industri lokal, peningkatan efisiensi produksi, serta inovasi dalam produk dan teknologi. Tanpa langkah-langkah konkret, industri tekstil Indonesia akan terus mengalami penurunan dan kehilangan daya saingnya di pasar global.