Meningkatnya volume produk impor dari China ke Indonesia telah memberikan tekanan berat pada produsen lokal, terutama di sektor tekstil dan manufaktur. Produk-produk murah dari China, yang banyak dijual secara daring, telah menggerogoti pangsa pasar produsen dalam negeri, membuat mereka kehilangan daya saing dan menyebabkan penurunan produksi.
Situasi ini diperparah oleh protes para pekerja di Jakarta yang mendorong Menteri Perdagangan Indonesia, Zulkifli Hasan, untuk mengambil tindakan. Pada bulan Juli 2024, pemerintah mengumumkan rencana pengenaan tarif impor hingga 200% pada beberapa produk dari China, termasuk tekstil, pakaian, alas kaki, elektronik, keramik, dan kosmetik. Langkah ini diambil untuk melindungi bisnis lokal dan mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Zulkifli Hasan menegaskan bahwa langkah ini penting untuk memastikan kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. "Amerika Serikat bisa mengenakan tarif 200% pada keramik atau pakaian impor, jadi kami juga bisa melakukannya," ujarnya.
Namun, kebijakan ini tidak tanpa risiko. China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan dua arah yang melampaui $127 miliar pada tahun 2023. Pengenaan tarif yang lebih tinggi bisa mendorong produsen China untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, namun juga berpotensi memicu tindakan balasan dari Beijing. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membentuk satuan tugas guna memantau dan menangani masalah impor tertentu.
Dampak dari banjir produk impor China sangat terasa di industri tekstil, terutama di wilayah Jawa Barat seperti Kabupaten Bandung yang terkenal dengan produk tekstil tradisional seperti batik dan kain tenun. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, dari Januari hingga Juli 2024, setidaknya 12 pabrik tekstil telah tutup, mengakibatkan lebih dari 12.000 pekerja kehilangan pekerjaan.
Neng Wati, seorang manajer di perusahaan manufaktur Asnur Konveksi, mengungkapkan bahwa kondisi ini telah membuat banyak pekerja di daerah tersebut kehilangan penghasilan tetap. Beberapa pekerja bahkan harus bergantian bekerja, dengan jatah kerja yang berkurang secara signifikan.
Selain itu, Jany Suhertan, direktur pelaksana PT Eksonindo Multi Product Industry, menyuarakan kekhawatirannya terhadap kenaikan tarif impor bahan mentah dari China. Perusahaannya, yang beroperasi di sektor pembuatan pakaian dan aksesori, sangat bergantung pada bahan baku impor dari China. Menurutnya, tarif yang lebih tinggi pada bahan mentah dapat mengganggu rantai pasokan dan berdampak negatif pada produksi dalam negeri.
Dalam upaya untuk melindungi industri lokal, pemerintah Indonesia terus mencari solusi jangka panjang yang efektif. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi produsen dalam negeri dan menjaga hubungan dagang dengan mitra internasional, khususnya China.