Print

Nike Inc menyuarakan pentingnya kebijakan pemerintah dalam mendorong industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia untuk mengadopsi praktik produksi yang berkelanjutan. Menurut Southeast Asia Head of Government and Public Policy Affairs Nike, Devi Kusumaningtyas, adopsi praktik berkelanjutan di sektor TPT di Indonesia saat ini masih belum ekonomis, terutama karena tingginya biaya implementasi dan preferensi konsumen yang lebih mengutamakan kualitas produk daripada keberlanjutan.

Devi menjelaskan bahwa dua faktor utama yang dapat mendorong adopsi praktik berkelanjutan adalah inisiatif dari internal perusahaan dan kebijakan pemerintah. Namun, ia menegaskan bahwa regulasi pemerintah memainkan peran yang lebih penting dibandingkan permintaan pasar dalam mempercepat adopsi keberlanjutan. Hal ini semakin mendesak karena Indonesia menyumbang 30% dari total volume produksi global Nike, dengan mayoritas produksi berlokasi di Asia Tenggara.

Industri tekstil, yang merupakan salah satu sektor utama di Indonesia, berkontribusi hingga 10% dari total emisi karbon secara global. Sebanyak 75% dari emisi tersebut berasal dari aktivitas manufaktur. Dalam konteks ini, transisi ke praktik berkelanjutan menjadi penting, meskipun masih dihadapkan pada tantangan besar terkait biaya tinggi yang melekat pada stigma premium terhadap bahan baku dan proses produksi ramah lingkungan.

Menurut data Statista, pada tahun 2023, 99,25% emisi karbon yang dihasilkan Nike berasal dari lingkup ketiga, yang mencakup mitra-mitra industri kecil dan menengah. Sebagian besar mitra ini memproduksi kurang dari 1 juta lembar per tahun, sehingga mendorong mereka untuk mengadopsi praktik berkelanjutan memerlukan ketersediaan bahan baku yang lebih luas, akses yang lebih mudah, dan harga yang terjangkau.

Untuk membuat praktik keberlanjutan lebih ekonomis, Devi menyarankan pemerintah agar mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT) sebagai sumber energi utama. Popularitas batu bara sebagai sumber energi saat ini masih tinggi karena banyaknya subsidi untuk industri batu bara, sehingga adopsi energi terbarukan belum terlihat sebagai opsi yang menarik secara ekonomi.

Dalam upaya mempercepat transisi energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengembangkan rencana pembangunan supergrid, yang diharapkan dapat meningkatkan bauran EBT dari 20% pada tahun 2024 menjadi 82% pada tahun 2060. Supergrid ini dirancang untuk mengatasi ketidakseimbangan antara pasokan listrik energi terbarukan dengan kebutuhan yang ada, serta meningkatkan keandalan sistem energi dan efisiensi biaya pembangkitan listrik.

Pengembangan supergrid melibatkan interkoneksi dalam pulau dan antar pulau, dengan pengembangan backbone 500 kilovolt (kV) di Sumatera dan Kalimantan, serta 275 kV dan 150 kV di Sulawesi. Selain itu, akan ada interkoneksi antar pulau seperti Sumatera-Jawa, Kalimantan-Jawa, dan Jawa-Sumba.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan adopsi praktik berkelanjutan di industri TPT, termasuk mitra-mitra Nike, akan menjadi lebih ekonomis dan terjangkau, membantu mengurangi emisi karbon secara signifikan dan mendukung upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.