Ekspor batik Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada kuartal II-2024, turun sebesar 8,39 persen secara tahunan (year-on-year). Penurunan ini dilaporkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan disinyalir sebagai dampak dari kondisi geopolitik global. Batik, yang tidak hanya berfungsi sebagai produk fesyen tetapi juga dapat diaplikasikan pada dekorasi rumah, menjadi salah satu produk yang terdampak.
Menurut Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, penurunan ekspor batik ini bukan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang melonggarkan impor batik melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023. Kebijakan tersebut hanya mengatur importasi, bukan ekspor.
Namun demikian, penurunan ekspor ini tidak mencerminkan tren keseluruhan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Menurut Fungsional Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Agus Ginanjar, industri tekstil nasional masih memiliki peluang besar untuk meningkatkan ekspor, terutama dengan adanya pasar yang bisa dibidik, seperti Uni Eropa. Agus menyoroti potensi besar dari kerja sama ekonomi yang sebentar lagi diimplementasikan melalui Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), yang akan membuka akses pasar lebih luas ke Uni Eropa.
Agus juga menambahkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Bangladesh memberikan peluang besar bagi industri tekstil Indonesia. Selama ini, Bangladesh merupakan pemasok tekstil utama ke pasar Eropa. Dengan kondisi ekonomi Bangladesh yang memburuk, Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan ekspornya ke Eropa dan menggantikan posisi Bangladesh sebagai pemasok utama di kawasan tersebut.
Indonesia memiliki keunggulan kompetitif di industri TPT yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, mulai dari serat, benang, kain, hingga pakaian jadi. Menurut Agus, hanya tiga negara di dunia yang memiliki integrasi industri TPT seperti ini, yaitu Indonesia, Tiongkok, dan India. Potensi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam industri tekstil global.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, juga menekankan pentingnya industri TPT bagi perekonomian Indonesia. Hingga tahun 2023, sektor ini masih menjadi salah satu penyumbang ekspor terbesar setelah minyak dan gas (migas). Bahkan, saat pandemi Covid-19 melanda, industri TPT tetap mampu berkontribusi sebesar USD 14,22 miliar dan menjadi jejaring pengaman sosial dengan menyerap sekitar 4,5 juta pekerja.
Melihat potensi yang ada, Liliek berharap bahwa pada tahun 2030, industri TPT Indonesia dapat mencapai nilai ekspor sebesar USD 48 miliar, dengan peningkatan pangsa pasar dari 1,47 persen menjadi 5 persen di pasar global. Untuk mencapai target tersebut, upaya meningkatkan kualitas produk, memperluas pasar ekspor, serta memanfaatkan peluang kerja sama ekonomi menjadi langkah penting yang harus dilakukan oleh industri TPT Indonesia.
Penurunan ekspor batik di kuartal kedua tahun 2024 menunjukkan adanya tantangan yang harus dihadapi industri, terutama dalam menghadapi situasi global yang dinamis. Namun, peluang besar tetap terbuka, terutama di pasar Eropa, yang dapat menjadi target utama untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia di masa mendatang.