Print

Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8% yang diusung Prabowo Subianto untuk masa pemerintahannya mendatang menghadapi tantangan besar, terutama dalam sektor manufaktur. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menegaskan bahwa untuk mencapai target tersebut, industri manufaktur perlu mengalami pertumbuhan signifikan, yang hingga saat ini masih jauh dari harapan.

Menurut Redma, agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8% tercapai, pertumbuhan industri manufaktur perlu mencapai 10%. Namun, kenyataannya, selama lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5%, dengan sektor manufaktur hanya mampu tumbuh 4-4,5%. Sektor tekstil sendiri menghadapi kondisi yang lebih buruk, dengan pertumbuhannya yang anjlok hingga minus 16%. Kondisi ini, menurut Redma, memberikan tantangan berat bagi kontribusi sektor tersebut dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Salah satu isu utama yang dihadapi oleh sektor manufaktur, khususnya tekstil, adalah kebijakan impor yang semakin membanjiri pasar dalam negeri. Redma menyebut bahwa revisi aturan Permendag No 36/2024 menjadi Permendag No 8/2024, yang diinisiasi oleh Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian, justru memicu derasnya impor tekstil. Hal ini berdampak negatif pada pasar dalam negeri yang menjadi fokus untuk dijaga oleh Kementerian Perdagangan.

Selain kebijakan impor, Redma juga menyoroti peran Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak, dalam menopang pertumbuhan sektor manufaktur. Bea Cukai, menurutnya, seharusnya lebih proaktif dalam mengatur pasar dalam negeri agar manufaktur dapat berkembang, sementara kebijakan pajak juga perlu lebih adil, terutama terkait dengan penanganan pemain ilegal di sektor ritel. Ia mengungkapkan bahwa pajak cenderung menyasar pelaku formal, sementara pemain ilegal yang terlibat dalam penyelundupan barang sering kali luput dari pengawasan.

Redma juga menyoroti pentingnya neraca komoditas yang akurat agar dapat mengendalikan laju impor. Menurutnya, permasalahan tekstil sangat kompleks, dengan lebih dari 1.100 kode Harmonized System (HS) yang harus dikelola. Untuk itu, diperlukan kebijakan kuota impor yang berdasarkan pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara keseluruhan, sektor tekstil dan manufaktur di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Dibutuhkan koordinasi dan komitmen yang kuat dari berbagai kementerian dan instansi terkait, agar kebijakan yang diterapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor ini, bukan justru menghambatnya.