Pentingnya Insentif untuk Meringankan Biaya Produksi Andry Satrio Nugroho, Head of Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menekankan pentingnya insentif dari pemerintah untuk menjaga keberlangsungan industri tekstil nasional. Menurutnya, insentif yang fokus pada pengurangan biaya produksi dapat membantu perusahaan tekstil menghadapi tekanan kompetitif dan bertahan di tengah meningkatnya persaingan, terutama dari produk impor. Beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan adalah biaya energi dan logistik. Jika kedua biaya ini ditekan, produsen lokal akan memiliki keuntungan yang lebih besar dalam menjaga keberlanjutan usahanya.
Andry menyatakan bahwa penurunan biaya produksi akan memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk beroperasi lebih efisien. "Beberapa biaya yang menekan industri ini perlu dikurangi. Misalnya, dari sisi biaya energi dan biaya logistik perlu ditekan," ujar Andry kepada Media Indonesia pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Penguatan Pasar Domestik sebagai Perlindungan dari Gempuran Produk Impor
Selain kebijakan yang meringankan beban biaya produksi, Andry juga menyoroti perlunya penguatan pasar domestik. Saat ini, produk impor tekstil dari negara seperti Tiongkok masuk ke Indonesia dengan harga rendah, sehingga menekan daya saing produk lokal. Andry mengkhawatirkan bahwa tanpa tindakan penguatan pasar domestik, produk tekstil dalam negeri akan semakin sulit bersaing dan bahkan terancam gulung tikar.
"Selama ini kita belum manfaatkan pasar domestik secara baik, karena masih besarnya tekanan produk-produk impor yang ada," ucap Andry. Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu melakukan langkah konkret untuk mengontrol laju impor produk tekstil demi menciptakan ruang bagi produk lokal agar lebih kompetitif di pasar nasional.
Evaluasi Permendag untuk Mencegah Kerugian Lebih Lanjut
Selain memberikan insentif, Andry mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Awalnya, aturan ini bertujuan mengatasi masalah penumpukan kontainer di pelabuhan. Namun, kebijakan tersebut dinilai malah mempermudah masuknya produk tekstil impor ke pasar domestik, termasuk produk dari Tiongkok, yang justru merugikan produsen lokal. Situasi ini bahkan menjadi salah satu faktor kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.
"Dengan Sritex dinyatakan pailit, kita harapkan pemerintah bisa membuka mata bahwa industri padat karya berorientasi ekspor ini terpuruk dan butuh penyelamatan," pungkas Andry. Kejatuhan Sritex dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah harus segera bertindak untuk menyelamatkan industri tekstil dari ancaman besar.
Langkah perlindungan industri tekstil dari ancaman produk impor dan biaya produksi tinggi menjadi semakin mendesak. Dengan memberikan insentif untuk menurunkan biaya energi dan logistik, serta memperkuat pasar domestik melalui evaluasi kebijakan impor, diharapkan sektor tekstil nasional dapat kembali berdaya saing dan bertahan menghadapi tantangan global.