Industri tekstil Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk tetap eksis dan bersaing di pasar global. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Liliek Setiawan, menyatakan bahwa meskipun Indonesia saat ini hanya memenuhi 1,8% kebutuhan tekstil dunia, ada peluang untuk meningkatkan pangsa pasar tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti perkembangan teknologi dalam industri tekstil.
Dalam acara workshop bertajuk Italian Textile Technology Indonesia yang diselenggarakan oleh Italian Trade Agency (ITA), Kedutaan Besar Italia, dan Asosiasi Produsen Mesin Tekstil Italia (ACIMIT), Liliek mengungkapkan bahwa teknologi menjadi aspek penting untuk memperluas pasar ekspor. Menurutnya, teknologi yang digunakan di dalam negeri mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, namun masih kurang kompetitif di pasar internasional.
“Kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi dengan teknologi yang ada saat ini. Tetapi, jika ingin bersaing di pasar ekspor, Indonesia harus mengikuti perkembangan teknologi industri tekstil yang bergerak sangat cepat,” ujar Liliek.
Tantangan Industri Hijau dalam Tekstil
Di luar aspek teknologi, Liliek menyoroti bahwa keberlanjutan atau “keberhijauan” industri juga menjadi tuntutan pasar internasional. Banyak perusahaan besar dan agen pembelian dari luar negeri yang kini lebih selektif terhadap pemasok tekstil berdasarkan praktik keberlanjutan, seperti penggunaan energi bersih. Industri yang masih menggunakan energi batubara, misalnya, mulai mengalami kesulitan untuk bersaing di pasar ekspor yang semakin berorientasi pada praktik ramah lingkungan.
“Industri tekstil kita harus mempertimbangkan aspek lingkungan karena pasar internasional kini lebih peduli tentang bagaimana produk itu diproduksi,” tambah Liliek. Jika Indonesia ingin mempertahankan pangsa pasarnya, maka perlu mengadopsi teknologi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan.
Otomatisasi vs. Tenaga Kerja: Tantangan Indonesia Menuju 2045
Namun, Liliek juga menyampaikan kekhawatirannya terkait otomatisasi di tengah bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia pada 2045. Meskipun otomatisasi berbasis Internet of Things (IoT) mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas, otomatisasi yang berlebihan dapat berdampak pada ketersediaan lapangan kerja di sektor padat karya seperti tekstil. Indonesia perlu menyiapkan alternatif pekerjaan bagi tenaga kerja yang terdampak apabila otomatisasi diterapkan secara luas.
“Dilemanya adalah jika semua proses diotomatisasi, akan ada banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. Indonesia perlu mempertimbangkan dampak sosial dari penerapan teknologi ini,” ujar Liliek.
Peluang Kerjasama Indonesia-Italia
Dalam kaitannya dengan teknologi, Italia menjadi salah satu negara yang berpotensi menjadi mitra strategis bagi Indonesia di sektor tekstil. Namun, Liliek mengingatkan bahwa perusahaan Italia perlu mengikuti aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang diberlakukan di Indonesia. Penerapan aturan ini bertujuan agar nilai tambah dalam setiap produk dapat lebih banyak dihasilkan oleh komponen dan tenaga kerja lokal.
Liliek menegaskan bahwa jika Italia ingin bersaing dengan produsen mesin tekstil dari negara lain seperti China, mereka harus mempertimbangkan aturan TKDN. “Italia memiliki kesempatan untuk masuk ke pasar Indonesia dengan syarat mereka mematuhi aturan lokal. Berbeda dengan China yang masih memilih untuk memproduksi di dalam negeri karena kebutuhan pekerjaan mereka sendiri,” tambahnya.