Kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5% untuk tahun 2025 yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto menuai perhatian serius dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Kebijakan ini dianggap memberatkan, khususnya bagi industri tekstil dan pakaian jadi, yang merupakan sektor padat karya dengan ketergantungan besar pada tenaga kerja.
Tantangan di Tengah Tekanan Ekonomi
Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastratmaja, menyebutkan bahwa sektor formal saat ini sedang menghadapi tekanan besar. "Sektor formal terus menyusut, dengan persentase pekerja yang semakin berkurang setiap tahun. Pekerja formal memang mendapat jaminan sosial, tetapi banyak yang akhirnya beralih ke sektor informal tanpa perlindungan," jelasnya pada Minggu (1/12).
Selain itu, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih stagnan di angka 18%, jauh dari target pemerintah yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Jemmy menegaskan bahwa idealnya, kontribusi manufaktur terhadap PDB harus berada di atas 25%. Namun, kondisi sektor tekstil dan pakaian jadi terus melemah, dengan banyak perusahaan yang tutup akibat tekanan biaya operasional.
Dampak Regional dan Operasional
Kondisi semakin sulit dirasakan oleh pelaku industri di daerah seperti Jawa Tengah, yang memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) lebih rendah dibandingkan Jawa Barat dan Jawa Timur. Kenaikan UMP sebesar 6,5% justru akan memperberat beban operasional, terutama di wilayah yang sudah berjuang mempertahankan keberlangsungan usaha.
"Industri padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi sudah menghadapi banyak tantangan. Kenaikan ini hanya akan memperbesar risiko penurunan daya saing dan keberlanjutan usaha," lanjut Jemmy.
Ancaman Bonus Demografi
Jemmy juga menyoroti dampak jangka panjang dari stagnasi industri terhadap bonus demografi Indonesia yang diproyeksikan terjadi pada 2030-2035. Jika lapangan kerja di sektor formal tidak mampu berkembang, pengangguran dapat menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional.
Penurunan kontribusi sektor manufaktur selama satu dekade terakhir menjadi sinyal bahwa kebijakan strategis diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. "Jika tidak ada langkah konkret, kita akan kehilangan momentum bonus demografi yang berharga," pungkasnya.
Langkah Selanjutnya
Kenaikan UMN yang signifikan menuntut pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi bersama. Reformasi kebijakan, insentif bagi industri padat karya, serta penguatan daya saing perlu menjadi prioritas agar sektor manufaktur, khususnya tekstil dan pakaian jadi, dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan ekonomi global.