Print

Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan berat. Data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) mencatat, dalam dua tahun terakhir sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup. Dampaknya, 250.000 pekerja kehilangan pekerjaan akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menjelaskan bahwa situasi ini dipicu oleh membanjirnya produk impor ilegal yang melemahkan pasar domestik. "Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi. Akibatnya, sekitar 250.000 karyawan mengalami PHK," ungkapnya.

Redma menambahkan, maraknya impor ilegal memperparah fase deindustrialisasi yang telah dialami industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama satu dekade terakhir. Kondisi ini sempat membaik pada 2021 ketika pandemi menghentikan impor dari China. Namun, pasca kebijakan lockdown dicabut, produk impor ilegal kembali membanjiri pasar, sehingga banyak perusahaan harus menghentikan operasional.

Dampak Sistemik pada Ekonomi Nasional

Krisis yang melanda industri tekstil turut berdampak pada sektor lain, seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephthalic Acid (PTA), bahan baku utama tekstil. Redma juga mengungkapkan bahwa gangguan pada produksi PTA menurunkan kebutuhan listrik dan memengaruhi sektor logistik.

Industri tekstil sendiri memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia, menyumbang 11,73% dari konsumsi listrik sektor industri dan 5,56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, potensi besar ini terhambat oleh dominasi barang impor ilegal yang merugikan negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.

Menurut Redma, sekitar 40% barang tekstil yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi. Hal ini tidak hanya merugikan industri lokal tetapi juga mengurangi daya saing produk dalam negeri di pasar domestik.

Langkah Penyelamatan yang Mendesak

Untuk menyelamatkan industri tekstil, Redma menyarankan pemerintah untuk segera memperketat pengawasan impor. Salah satu solusi yang diusulkan adalah perbaikan sistem di pelabuhan, khususnya penggunaan scanner dan data manifest import yang dinilai tidak sinkron, sehingga menjadi celah masuknya barang ilegal.

"Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik," ujarnya.

Jika langkah tegas diambil, Redma optimistis industri tekstil dapat kembali pulih dan berkontribusi lebih besar terhadap PDB nasional, bahkan mencapai 8% seperti sebelumnya.

Industri tekstil Indonesia berada di titik kritis yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Maraknya impor ilegal tidak hanya mematikan sektor ini tetapi juga memberikan dampak berantai pada berbagai sektor ekonomi lainnya. Langkah cepat dan strategis perlu segera diambil untuk menyelamatkan masa depan industri tekstil sebagai salah satu pilar penting perekonomian nasional.