Print

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus membayangi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Penurunan ini, yang mencapai level Rp16.285/US$ pada 19 Desember 2024, menjadi pelemahan terdalam sejak Oktober 2024. Situasi ini tidak hanya membebani biaya produksi tetapi juga memperparah persaingan dengan produk impor, khususnya dari China.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menyebutkan bahwa pelemahan rupiah memicu lonjakan biaya produksi tekstil lokal. Sebaliknya, pelemahan yuan membuat produk tekstil China semakin kompetitif di pasar domestik. "Produk China makin murah karena yuan melemah, sehingga daya saingnya meningkat di Indonesia," ungkap Jemmy.

Hal ini diperparah dengan strategi dumping yang dilakukan China, seperti diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta. Ia menjelaskan bahwa banyak barang sisa dari China dijual dengan harga rendah akibat subsidi. "Barang jadi dari China tetap kompetitif meski dolar melemah karena pengaruh yuan dan pola dumping mereka," tambah Redma.

Beban Ganda Bagi Industri Tekstil Lokal
Selain persaingan dari produk impor, pelaku industri tekstil juga menghadapi kenaikan biaya produksi dalam negeri. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) semakin menekan pelaku usaha. "Di satu sisi biaya naik, di sisi lain barang China membanjiri pasar dengan harga murah," ujar Jemmy.

Untuk mengatasi tekanan ini, API dan APSyFI mendesak pemerintah menerapkan kebijakan proteksi seperti safeguard, aturan anti-dumping, dan penghalang non-tarif lainnya. "Kami membutuhkan regulasi yang melindungi pasar domestik agar industri lokal bisa bertahan," tegas Jemmy.

Tantangan Menjelang 2025
Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun yang semakin berat bagi industri tekstil. Langkah hawkish dari Federal Reserve serta potensi kebijakan proteksionis dari pemerintahan baru AS dapat memperburuk situasi. Jemmy khawatir bahwa barang China yang berlimpah akibat tekanan ekonomi global akan semakin membanjiri pasar Indonesia.

Jika pelemahan rupiah tidak segera dimitigasi, potensi dampaknya akan semakin besar. "Kami harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat kebijakan proteksi agar industri dalam negeri tetap hidup," pungkas Jemmy.

Industri tekstil Indonesia kini berada di persimpangan. Tanpa dukungan kebijakan protektif yang memadai, daya saing industri lokal berpotensi terus tergerus, mengancam keberlangsungan sektor yang menjadi salah satu andalan ekonomi nasional ini.