Print

Tahun 2024 menjadi masa sulit bagi sejumlah emiten tekstil Indonesia. Berbagai masalah seperti penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) hingga kasus kepailitan terus menghantui industri ini. Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, memproyeksikan bahwa tahun 2025 masih akan menjadi periode penuh tantangan bagi emiten tekstil.

Persaingan Ketat dengan Barang Impor
Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri tekstil adalah persaingan dengan barang impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga November 2024, impor tekstil dan produk pertekstilan (TPT) mencapai 1,96 juta ton dengan nilai sebesar USD 8,07 miliar. Angka ini mencerminkan kenaikan sebesar 5,84 persen secara tahunan.

“Persaingan dengan produk impor menjadi salah satu tantangan berat, terutama dengan lonjakan jumlah impor tersebut,” ujar Oktavianus.

Pertumbuhan Positif, Namun Dihantui Sentimen Global
Meskipun industri TPT mencatat pertumbuhan positif sebesar 7,43 persen secara tahunan pada kuartal ketiga 2024, tekanan dari berbagai sentimen global diperkirakan akan menjadi penghambat di tahun depan. Oktavianus menyebut kebijakan tarif perdagangan Donald Trump di Amerika Serikat, yang merupakan pasar ekspor terbesar tekstil Indonesia, sebagai salah satu faktor yang dapat memperburuk kondisi industri.

“Di 2025, ada kekhawatiran atas kebijakan tarif yang dapat mempengaruhi ekspor ke Amerika Serikat. Ini menjadi salah satu risiko terbesar bagi industri TPT,” jelasnya.

Ketidakpastian Ekonomi dan Daya Beli yang Lemah
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan bank sentral yang melambat dari ekspektasi pasar turut menambah tekanan pada emiten tekstil. Di dalam negeri, daya beli masyarakat yang diproyeksikan melambat juga menjadi ancaman besar.

Kasus PKPU dan Kepailitan
Berbagai kasus hukum semakin memperburuk situasi industri tekstil. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu emiten tekstil terbesar di Indonesia, baru-baru ini mengalami penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung atas putusan pailit di Pengadilan Niaga Semarang. Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Tidak hanya Sritex, sejumlah emiten lain seperti PT Sejahtera Bintang Textile Tbk (SBAT), PT Pan Brothers Tbk, PT Century Textile Industry Tbk (CNTX), dan PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) juga menghadapi berbagai masalah hukum dan mendapatkan notasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

Belum Ada Prospek Pemulihan
Melihat berbagai tekanan tersebut, Oktavianus menyatakan bahwa prospek pemulihan emiten tekstil masih belum terlihat. “Saat ini, kami belum merekomendasikan investasi pada emiten tekstil di tengah berbagai sentimen negatif yang ada,” katanya.

Tahun 2025 diproyeksikan menjadi tahun penuh tantangan bagi industri tekstil di Indonesia. Tekanan dari persaingan barang impor, ketidakpastian global, daya beli yang melemah, hingga berbagai kasus hukum membuat prospek industri ini masih suram. Dukungan dari pemerintah untuk mengatasi banjir barang impor dan mengawasi platform e-commerce menjadi hal yang sangat dibutuhkan guna menyelamatkan sektor ini dari keterpurukan lebih lanjut.