Industri tekstil Indonesia terus menghadapi tekanan berat akibat derasnya arus barang impor, yang tidak hanya menekan pasar domestik tetapi juga memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penutupan pabrik. Data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menunjukkan bahwa sejak 2023 hingga akhir 2024, tujuh perusahaan tekstil gulung tikar, sementara 28 pabrik menghentikan produksi sepenuhnya.
Pengurangan Produksi dan Upah
Ketua Umum APSyFI, Redma Wirawasta, menjelaskan bahwa banyak perusahaan memilih untuk mengurangi kapasitas produksi dan jam kerja dibanding melakukan PHK. Contohnya, hari kerja yang normalnya enam hari per minggu kini hanya tiga hari per minggu. "Upah tenaga kerja akhirnya bisa disesuaikan tanpa harus menanggung beban pesangon besar," ujar Redma.
Namun demikian, angka PHK tetap tinggi. Redma mencatat bahwa lebih dari 18.000 pekerja telah kehilangan pekerjaan, meskipun estimasi sebenarnya mencapai 250.000 tenaga kerja. Ini mencakup pekerja yang terkena dampak bertahap sebelum akhirnya dicatat sebagai PHK resmi.
Penutupan Pabrik dan PHK Massal
Beberapa kasus PHK massal telah terjadi di industri ini. PT Alenatex, misalnya, telah memecat 700 pekerja dalam putaran terakhirnya, setelah sebelumnya memberhentikan 3.000 tenaga kerja sepanjang 2023. PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) juga menghentikan produksi di Karawang, mengakibatkan 2.500 pekerja kehilangan pekerjaan.
Secara keseluruhan, Redma memperkirakan lebih dari 1,1 juta tenaga kerja di sektor tekstil telah terdampak, baik melalui PHK maupun pengurangan jam kerja. Penurunan utilitas industri, dari 75 persen pada 2023 menjadi di bawah 50 persen pada 2024, menjadi indikator nyata dari krisis ini.
Akar Masalah: Maraknya Barang Impor
Redma menilai bahwa banjir barang impor, termasuk impor ilegal, menjadi penyebab utama krisis ini. Ia mengkritik pemerintah atas kebijakan yang dianggap tidak menyentuh akar permasalahan. Insentif seperti diskon bunga kredit modal kerja sebesar 5 persen dinilai tidak efektif, karena perusahaan justru kehilangan pasar domestik mereka.
“Mana ada perusahaan yang pasarnya diambil barang impor lalu disuruh beli mesin baru? Yang paling penting bagi pengusaha adalah pasar, dan pemerintah tidak serius menangani masalah impor ilegal,” katanya.
Kebijakan Permendag No. 8 Tahun 2024
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menuding Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 sebagai penyebab utama keterpurukan industri tekstil. Aturan ini dianggap terlalu meringankan impor pakaian jadi, yang akhirnya menghancurkan daya saing produk lokal.
Setidaknya 60 perusahaan tekstil telah melakukan PHK terhadap 13.061 pekerja tetap dan tidak memperpanjang kontrak 5.000 pekerja. Immanuel menyebut revisi Permendag No. 8 Tahun 2024 sebagai langkah mitigasi yang mendesak untuk menyelamatkan industri ini.
Industri tekstil Indonesia berada di titik kritis. Derasnya barang impor, kebijakan yang kurang tepat, dan lemahnya pengawasan terhadap pasar domestik telah memicu gelombang PHK dan penutupan pabrik. Langkah strategis dan dukungan pemerintah yang lebih fokus pada pengendalian impor menjadi kebutuhan mendesak untuk menghindari keruntuhan sektor ini secara menyeluruh.