Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi tantangan besar yang mengancam keberlanjutannya. Dalam upaya merespons tekanan yang kian berat, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyuarakan dukungan terhadap wacana pemberian insentif berupa diskon tarif listrik bagi pelanggan industri, meskipun dampaknya hanya bersifat jangka pendek.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wiraswasta, menilai pemberian insentif berupa diskon tarif listrik sebesar 50% akan memberikan sedikit ruang bernapas bagi para produsen TPT. Pasalnya, biaya energi menjadi salah satu komponen pengeluaran terbesar di sektor ini. Sektor hulu, seperti industri polimer, mencatatkan porsi biaya energi hingga 25% dari total pengeluaran, terdiri dari gas (17%) dan listrik (8%). Industri spinning (pemintalan) memiliki porsi biaya listrik mencapai 18%. Dengan beban energi yang besar, kebijakan diskon listrik diharapkan dapat mengurangi pengeluaran produksi dan membantu industri bertahan di tengah tekanan yang ada.
Namun, Redma menegaskan bahwa insentif ini hanyalah solusi sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan. Masalah utama yang dihadapi industri TPT adalah membanjirnya produk impor murah, baik yang legal maupun ilegal, yang membuat produsen lokal sulit bersaing di pasar domestik. Selain itu, produsen lokal juga menghadapi tantangan berat di pasar ekspor akibat melemahnya permintaan global. "Yang paling dibutuhkan oleh industri TPT adalah jaminan pasar domestik," kata Redma.
Pemerintah telah menggulirkan kembali kebijakan Kredit Investasi untuk sektor padat karya, termasuk TPT, dengan target penyaluran hingga Rp 20 triliun pada 2025. Kebijakan ini bertujuan memudahkan pelaku industri mengakses pembiayaan guna memodernisasi peralatan dan meningkatkan efisiensi produksi. Namun, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa kredit investasi semacam ini belum sepenuhnya menarik minat produsen TPT. Program revitalisasi mesin yang pernah dilaksanakan pada 2009–2016 dengan anggaran Rp 350 miliar, serta kebijakan serupa pada 2021, tidak memberikan dampak signifikan.
Alasan utamanya adalah pasar domestik yang masih dikuasai oleh barang impor murah. Mesin modern tidak akan membantu banyak jika hasil produksinya tidak memiliki pangsa pasar yang memadai, justru produsen harus menanggung biaya tambahan untuk perawatan mesin tersebut.
Menurut APSyFI, pemerintah terlalu fokus memberikan insentif tanpa mengatasi akar masalah. Kebijakan seperti diskon listrik atau kredit investasi memang membantu, tetapi tidak cukup jika banjir produk impor murah tidak segera dihentikan. "Masalahnya sudah jelas, yaitu produk impor murah, tetapi pemerintah hanya berputar-putar memberikan insentif yang tidak signifikan," ujar Redma.
Untuk mendukung keberlanjutan industri TPT, dibutuhkan langkah strategis yang lebih terfokus. Pengendalian impor, baik legal maupun ilegal, melalui regulasi dan pengawasan yang ketat. Penguatan pasar domestik dengan mendukung penggunaan produk lokal melalui kebijakan insentif bagi konsumen dan pelaku usaha. Efisiensi energi melalui investasi teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi. Langkah-langkah ini dapat menciptakan ekosistem yang lebih kondusif bagi produsen TPT untuk bersaing dan berkembang secara berkelanjutan.