Print

Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) meminta pemerintah lebih tegas dalam menegakkan aturan penggunaan label berbahasa Indonesia dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk pakaian jadi. Regulasi ini dinilai penting agar konsumen dapat memahami spesifikasi dan kualitas produk yang dibeli serta melakukan pemeliharaan dengan tepat.

Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, menyoroti rendahnya tingkat kepatuhan terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25 Tahun 2021, yang mewajibkan pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk pakaian dan kain di pasar. Berdasarkan pemantauan YKTI, hanya sekitar 30% produk yang mematuhi aturan ini, dengan pelanggaran terbesar terjadi di platform perdagangan daring, di mana sekitar 90% produk tidak memiliki label berbahasa Indonesia. Sebagian besar produk justru menggunakan bahasa asing seperti Inggris, Tiongkok, Thailand, Korea, dan Jepang, sehingga menyulitkan konsumen dalam memahami informasi produk.

Selain itu, YKTI menyoroti lemahnya penegakan SNI wajib untuk pakaian bayi, yang seharusnya menjadi perhatian utama karena berkaitan langsung dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak. Banyak produk bayi yang dijual secara daring tanpa sertifikasi SNI, namun tidak mendapat tindakan hukum yang jelas.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menilai lemahnya pengawasan dan buruknya kinerja bea cukai menjadi penyebab utama maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Ia menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana produk dalam negeri justru lebih ketat diawasi dibandingkan dengan produk impor ilegal. Menurutnya, regulasi mengenai label, SNI, dan K3L lebih banyak menekan produsen dalam negeri karena mereka lebih mudah dijangkau oleh aparat, sementara distributor dan pedagang barang impor sering luput dari pengawasan.

Persoalan ketimpangan ini juga diperparah oleh beban pajak yang harus ditanggung produsen lokal. Mereka diwajibkan membayar pajak, mulai dari PPN bahan baku hingga PPN penjualan, sementara produk impor ilegal dapat beredar bebas tanpa pajak, menciptakan persaingan yang tidak adil bagi industri dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai kurangnya keseriusan pemerintah dalam menangani impor ilegal berdampak buruk pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Hal ini telah menyebabkan banyak pabrik gulung tikar dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan. APSyFI mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dengan meningkatkan pengawasan impor di perbatasan terkait aturan Label, SNI, dan K3L. Jika pengawasan hanya mengandalkan sistem post border, maka Kementerian Perdagangan akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan produk yang sudah beredar di pasar.

Dengan meningkatnya impor ilegal dan lemahnya penegakan regulasi, industri tekstil dalam negeri menghadapi ancaman serius. Pelaku usaha mendesak pemerintah agar segera memperketat pengawasan dan menindak pelanggaran guna melindungi produsen lokal serta memastikan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan.