Para pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus dihantui oleh ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun ini. Tren PHK yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir masih berlanjut tanpa tanda-tanda perbaikan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan di sektor ini masih mempertimbangkan langkah PHK bahkan menutup usahanya. Sejak dua tahun terakhir, sekitar 250.000 pekerja telah terkena PHK, sementara 100.000 lainnya dirumahkan. Para pekerja yang telah dirumahkan selama lebih dari satu tahun pun kini menghadapi risiko besar untuk kehilangan pekerjaan secara permanen.
Kondisi keuangan perusahaan tekstil semakin sulit, menyebabkan banyak dari mereka kesulitan membayar gaji karyawan yang masih bertahan. Diperkirakan, tahun ini jumlah pekerja yang mengalami PHK bisa bertambah hingga 150.000 orang lagi.
Redma menegaskan bahwa industri tekstil membutuhkan kepastian pasar dalam negeri agar bisa bertahan. Salah satu caranya adalah dengan memastikan bahwa pasar domestik terbebas dari serbuan produk impor ilegal yang semakin membanjiri pasar. Meskipun pemerintah telah memahami akar permasalahan yang dihadapi industri tekstil, hingga kini belum ada tindakan konkret untuk menghentikan masuknya produk impor ilegal ke Indonesia.
Menurut Redma, maraknya impor ilegal menimbulkan dugaan adanya kepentingan tertentu dari oknum pejabat yang mempermudah masuknya barang tersebut. Jika kondisi ini terus dibiarkan, negara berpotensi kehilangan pendapatan puluhan triliun rupiah dari sektor tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Hal ini tentu sangat disayangkan, terutama di tengah upaya pemerintah menjaga stabilitas anggaran dan mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.