Industri tekstil dalam negeri menghadapi ancaman serius akibat membanjirnya produk tekstil impor. Kondisi ini telah menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan berpotensi menghilangkan nilai ekonomi industri tekstil yang mencapai Rp 235 triliun per tahun. Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyayangkan situasi ini, mengingat industri tekstil memiliki potensi besar dalam memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Sebagai contoh, bahan baku seperti PX (Paraxylene) yang dibeli seharga Rp 5.000 per 0,30 kilogram dapat diolah menjadi pakaian jadi senilai Rp 104.000 per kilogram, atau mengalami kenaikan nilai hingga 200 persen. Berdasarkan data APSyFI, konsumsi garmen domestik pada 2023 mencapai 2,26 juta ton, dengan nilai ekonomi industri tekstil diperkirakan sebesar Rp 235 triliun per tahun. Dengan bahan baku PX yang dibeli dari Pertamina sekitar 600.000 metrik ton per tahun senilai Rp 10 triliun, industri ini seharusnya mampu berkembang pesat.
Selain menciptakan nilai ekonomi yang besar, industri tekstil juga memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak negara. Dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, potensi pajak dari industri ini bisa mencapai Rp 25 triliun per tahun. Belum lagi dari sektor impor kapas, yang pada 2023 mencapai konsumsi 611.550 metrik ton dengan harga beli Rp 31.000 per kilogram, memberikan potensi pajak tambahan sebesar Rp 18,95 triliun per tahun. Besarnya multiplier effect dari industri tekstil terhadap perekonomian nasional seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
Namun, potensi besar ini terhambat oleh maraknya barang impor, baik resmi maupun ilegal, terutama pada produk kain dan garmen. Hal ini berimbas langsung pada sektor benang dan poliester, yang mengalami penurunan kapasitas produksi secara signifikan. Ketergantungan pada produk impor mengakibatkan pabrik-pabrik lokal kesulitan bersaing, bahkan banyak yang terpaksa menutup usahanya. Padahal, kapasitas produksi poliester dalam negeri sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. Jika situasi ini terus berlanjut, industri tekstil nasional berisiko semakin terpuruk, mengancam keberlangsungan ekonomi dan lapangan kerja di sektor ini.