Empat pabrik tekstil yang bernaung di bawah Sritex Group di Jawa Tengah resmi melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 10.965 pekerja sepanjang Januari hingga Februari 2025. Keputusan ini diambil setelah perusahaan dinyatakan pailit, dan pemerintah berupaya memastikan hak-hak pekerja tetap terpenuhi.
Mengacu pada data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah yang diperoleh dari kurator pengadilan niaga, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menyebutkan bahwa pada Januari 2025, PT Bitratex Industries Semarang telah memutus hubungan kerja dengan 1.065 karyawan. Kemudian, pada 26 Februari 2025, PHK terjadi di beberapa pabrik lainnya, yaitu PT Sritex Sukoharjo sebanyak 8.504 pekerja, PT Primayudha Mandirijaya Boyolali (956 pekerja), PT Sinar Pantja Djaja Semarang (40 pekerja), dan tambahan PHK di PT Bitratex Industries Semarang sebanyak 104 pekerja.
PT Sinar Pantja Jaya Semarang sendiri telah melakukan PHK sejak Agustus 2024, sebelum PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit. Hingga saat ini, masih ada sekitar 300 pekerja yang belum menerima hak pesangonnya.
Sejak perusahaan diputus pailit oleh pengadilan niaga, kendali sepenuhnya berada di tangan kurator. Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen membela hak-hak buruh agar tetap mendapatkan hak mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Sukoharjo, Sumarno, menjelaskan bahwa pekerja yang terkena PHK terakhir bekerja pada 28 Februari 2025 sebelum pabrik ditutup pada 1 Maret 2025.
Kementerian Ketenagakerjaan bersama manajemen telah berupaya menghindari PHK, namun keputusan akhir tetap berada di tangan kurator yang ditunjuk oleh pengadilan niaga. Dalam surat yang diterima karyawan Sritex, tim kurator yang terdiri dari Denny Ardiansyah, Fajar Romy Gumilar, dan Nurma Candra Yani Sadikin menyatakan bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024 serta putusan kasasi Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024, keempat perusahaan yang tergabung dalam Sritex Group resmi dinyatakan pailit.
Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pekerja yang bekerja pada debitor memiliki hak untuk memutus hubungan kerja. Begitu pula, kurator dapat melakukan pemberhentian karyawan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya.
Kebangkrutan Sritex dinilai sebagai dampak dari kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban utangnya. Hal ini tidak hanya berdampak pada ribuan pekerja, tetapi juga memengaruhi ekosistem ekonomi kecil di sekitarnya. Industri tekstil di Indonesia sendiri sedang menghadapi tantangan besar, termasuk banjirnya produk impor yang lebih murah dan kompetitif.
Kabar mengenai PHK besar-besaran ini telah ramai diperbincangkan di media sosial sejak 26 Februari 2025. Banyak unggahan dari karyawan Sritex yang saling mengucapkan perpisahan, bahkan beberapa membubuhkan tanda tangan di seragam kerja sebagai bentuk kenangan.
Secara umum, industri tekstil nasional mengalami penurunan pesanan yang signifikan. Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional, Iwan Kusmawan, menjelaskan bahwa sejak pandemi Covid-19, pabrik-pabrik tekstil di Indonesia sulit bersaing dengan serbuan barang impor. Selain itu, belum jelas apakah pemerintah akan memberikan stimulus bagi industri padat karya dan bagaimana mekanisme aksesnya.
Ekonom Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai bahwa industri tekstil padat karya di Indonesia menghadapi tantangan besar yang berujung pada banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan melakukan PHK massal. Salah satu penyebab utama adalah kebijakan ekspor dan impor yang kurang berpihak pada industri dalam negeri.
Banjirnya produk tekstil murah dari China dan Vietnam membuat produsen lokal semakin terjepit, ditambah dengan lemahnya pengawasan terhadap impor ilegal dan pakaian bekas. Di sisi lain, ketergantungan pada bahan baku impor semakin memperburuk kondisi industri tekstil, terutama ketika nilai tukar rupiah melemah.
Regulasi ketenagakerjaan yang ketat serta kenaikan upah minimum juga menjadi tekanan bagi perusahaan, terutama di tengah daya beli masyarakat yang cenderung lesu. Pemerintah dinilai belum mampu menciptakan ekosistem perdagangan yang mendukung industri tekstil nasional agar lebih kompetitif.
Selain faktor eksternal, industri tekstil dalam negeri juga menghadapi tantangan internal seperti rendahnya efisiensi operasional. Beberapa pabrik masih menggunakan teknologi lama yang menyebabkan biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing luar negeri. Kurangnya inovasi dan diferensiasi produk membuat produk lokal sulit bersaing di pasar domestik maupun global.
Tanpa adanya modernisasi dan strategi bisnis yang lebih adaptif, industri tekstil Indonesia dikhawatirkan semakin tertinggal. Insentif berupa keringanan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, peningkatan manfaat uang tunai Jaminan Kehilangan Pekerjaan, serta diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dianggap lebih berorientasi pada perlindungan tenaga kerja daripada peningkatan daya saing industri secara keseluruhan. Jika tidak ada langkah strategis yang konkret, industri tekstil nasional akan terus menghadapi tekanan berat di masa mendatang.