Industri tekstil dan garmen di Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, ekspor, dan output industri manufaktur. Namun, kombinasi berbagai masalah struktural dan dinamika ekonomi mendorong sektor ini semakin mendekati fase 'sunset industry'.
IFG Progres dalam Economic Bulletin – Issue 61: The Textile and Garment Industry’s Fate: Inevitable Decline or Structural Shift? menyoroti tantangan yang dihadapi industri ini. Laporan yang disusun oleh Ibrahim Kholilul Rohman, Afif Narawangsa Luviyanto, dan Erin Glory Pavayosa Ginting mengungkapkan bahwa sektor tekstil dan garmen tetap memiliki nilai strategis dalam perekonomian nasional dengan kontribusi signifikan terhadap tenaga kerja, ekspor, dan investasi.
Sebagai sektor padat karya, industri tekstil dan garmen menyerap 3,98 juta tenaga kerja atau 19,47% dari total tenaga kerja di sektor manufaktur pada 2023 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, sektor ini menyumbang 5,34% dari total output industri manufaktur pada kuartal IV-2024. Kontribusi ekspor juga cukup progresif, terutama pada sektor hulu seperti pakaian jadi/garmen yang mengalami pertumbuhan ekspor hingga 12,1% yoy pada 2022. Investasi di sektor ini juga mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 17,6% per tahun, dengan peningkatan nilai investasi 3,08% per tahun berdasarkan data Kemendag 2019.
Namun, dalam lima tahun terakhir, sektor ini menghadapi tantangan berat dan diprediksi akan memasuki era sunset industry. Beberapa indikator yang memperkuat asumsi ini antara lain penurunan kapasitas produksi yang terus berlanjut, penurunan nilai ekspor, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar.
Sejak 2019, surplus perdagangan internasional industri ini anjlok dari US$ 5,04 miliar pada 2008 menjadi hanya US$ 3,50 miliar. Salah satu penyebab utama yang diduga berkontribusi adalah maraknya impor produk tekstil dari China. Kondisi semakin memburuk dengan penutupan pabrik secara besar-besaran sejak triwulan II-2022. Pada Desember 2024, tercatat sebanyak 60 pabrik telah tutup, menyebabkan PHK terhadap 250.000 pekerja secara akumulatif. Angka ini belum termasuk PHK 10.000 pekerja di Sritex yang turut menjadi sorotan.
Penurunan kapasitas produksi juga menjadi indikasi jelas dari melemahnya industri ini. Dari puncaknya sebesar 84,93% pada 2019, kapasitas produksi terus menurun hingga hanya mencapai 67,12% pada Desember 2024.
Dengan tren negatif yang terus berlanjut, IFG Progres memprediksi bahwa industri tekstil dan garmen di Indonesia akan memasuki fase sunset industry. Jika tidak ada kebijakan strategis yang diambil, sektor ini berisiko kehilangan daya saingnya dan mengalami kemunduran lebih lanjut dalam beberapa tahun ke depan.