Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menegaskan bahwa penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) harus dilakukan secara menyeluruh. Tantangan yang dihadapi industri padat karya ini bukan hanya sebatas membanjirnya produk impor ilegal di pasar domestik.
Wakil Ketua API, David Leonardi, mengakui bahwa keberadaan produk impor murah telah menekan industri tekstil dalam negeri. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya kebijakan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024. David menyebutkan bahwa kebijakan tersebut membuka peluang masuknya produk jadi ke pasar Indonesia tanpa perlindungan yang memadai bagi industri lokal. Akibatnya, industri dan industri kecil menengah (IKM) mengalami penurunan pesanan. Bahkan, dalam momentum Lebaran yang biasanya meningkatkan permintaan, pelaku usaha tidak merasakan lonjakan pesanan yang signifikan.
Kondisi pasar yang kurang kondusif ini membuat investasi menjadi kurang efektif. Padahal, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi di industri tekstil sepanjang 2024 mencapai Rp21,38 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp15,4 triliun. Oleh karena itu, pembenahan industri menjadi langkah penting untuk memastikan keberlangsungan investasi di sektor ini.
Salah satu upaya yang diusulkan adalah menghilangkan beban puncak pada penggunaan energi listrik dari PLN serta memberikan diskon tarif listrik untuk jam malam (23:00-06:00), mengingat saat ini produksi listrik berlebih. Selain itu, diperlukan pembangunan infrastruktur gas yang lebih efisien dengan harga yang kompetitif agar produk tekstil Indonesia lebih ramah lingkungan dan dapat bersaing di pasar Uni Eropa.
API juga mendorong pemerintah untuk memperketat izin masuk produk tekstil dari negara lain, terutama China, dengan tetap mengacu pada regulasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, perlu ada pembatasan impor TPT hanya melalui pelabuhan utama serta mekanisme pengawasan yang lebih ketat di kawasan berikat (border). Dalam jangka panjang, percepatan finalisasi perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa (IEU-CEPA) dan Amerika Serikat (US-FTA) menjadi langkah strategis agar industri tekstil nasional mampu bersaing secara global.
Di sisi lain, penyederhanaan dan pengurangan biaya importasi bahan baku industri hulu tekstil serta efisiensi jaringan logistik menjadi faktor penting dalam meningkatkan daya saing industri TPT. Eliminasi praktik birokrasi yang tidak transparan juga diperlukan agar industri dapat berjalan lebih efektif. Kepastian formulasi perhitungan kenaikan upah minimum pun harus dipertimbangkan agar pelaku usaha dapat memberikan kepastian kepada tenaga kerja.
Kenaikan upah yang tidak terukur berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja formal di sektor tekstil serta meningkatkan angka pengangguran dan tenaga kerja informal. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus saling mendukung agar dapat memberikan perlindungan optimal bagi industri TPT, menciptakan stabilitas rantai pasok, serta memberikan manfaat yang lebih luas bagi tenaga kerja dan perekonomian nasional.