Print

Emiten tekstil PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY) memberikan tanggapan terkait gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. RICY disebut masih memiliki utang sebesar US$ 9.120.694,32 atau sekitar Rp 149 miliar (kurs Rp16.340).

Corporate Secretary RICY, Agnes Hermien Indrajati, mengungkapkan bahwa perusahaan telah menghadiri sidang perdana di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 10 Maret 2025. Sidang tersebut diwakili oleh Direktur RICY, Iwan, karena perusahaan tengah menyiapkan legalitas dan dokumen pendukung yang diperlukan. Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Agnes menegaskan bahwa RICY akan mematuhi proses hukum yang berjalan serta tetap berpegang pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

Gugatan ini sendiri telah didaftarkan pada 28 Februari 2025 dengan nomor perkara 62/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst. Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara, PT Asuransi Kredit Indonesia menyatakan bahwa RICY memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih sebesar Rp 148 miliar. Selain itu, dalam petitumnya, PT Asuransi Kredit Indonesia meminta agar majelis hakim menetapkan RICY dalam status PKPU Sementara selama 45 hari sejak putusan dibacakan.

Kasus PKPU bukanlah hal baru di industri tekstil. Sebelumnya, PT Pan Brothers Tbk (PBRX) juga mengalami gugatan serupa dengan nilai utang mencapai US$ 393,3 juta atau sekitar Rp 6,25 triliun. Bahkan, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang juga pernah menghadapi PKPU, kini telah resmi tutup per 1 Maret 2025.

Pada akhir 2024, Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, memperkirakan bahwa industri tekstil masih akan menghadapi tantangan berat sepanjang 2025. Salah satu faktor utama adalah persaingan ketat dengan barang impor. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa hingga November 2024, impor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai 1,96 juta ton dengan nilai US$ 8,07 miliar, mengalami kenaikan 5,84 persen secara tahunan.

Di sisi lain, industri TPT sebenarnya tumbuh positif sebesar 7,43 persen secara tahunan pada kuartal ketiga 2024. Namun, kebijakan global menjadi faktor yang dapat memperberat kondisi di tahun 2025. Salah satu kekhawatiran utama adalah kebijakan tarif yang diterapkan oleh Donald Trump, mengingat Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar bagi produk tekstil Indonesia. Dengan situasi ini, pelaku industri tekstil harus semakin waspada dalam menghadapi dinamika ekonomi global dan kebijakan perdagangan yang berubah-ubah.