Industri batik di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengalami pertumbuhan pada 2024, meskipun peningkatannya tergolong kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai produksi batik Cirebon meningkat dari Rp87,4 miliar pada 2023 menjadi Rp88,3 miliar pada 2024, dengan kapasitas produksi bertambah dari 42.611 kodi menjadi 42.782 kodi. Meskipun demikian, pertumbuhan ini belum cukup signifikan untuk dikategorikan sebagai perkembangan yang kuat.
Salah satu kendala utama yang dihadapi industri batik Cirebon adalah stagnasi jumlah perusahaan yang tetap di angka 597 unit, serta pertumbuhan tenaga kerja yang hanya bertambah 10 orang, dari 4.707 pekerja pada 2023 menjadi 4.717 pekerja pada 2024. Selain itu, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih setelah pandemi turut mempengaruhi permintaan batik, terutama dari luar daerah. Banyak konsumen yang masih menahan belanja, terutama untuk batik berkualitas tinggi.
Faktor lain yang menjadi tantangan adalah meningkatnya harga bahan baku seperti kain mori dan pewarna alami, yang menyebabkan biaya produksi melonjak. Para pengrajin pun terpaksa menaikkan harga jual, yang pada akhirnya berdampak pada daya saing produk mereka. Untuk mengatasi hal ini, beberapa pengusaha batik mulai memanfaatkan teknologi digital dengan menjual produk mereka secara daring melalui media sosial dan marketplace guna menjangkau pasar yang lebih luas.
Selain tantangan dari segi produksi dan pemasaran, industri batik Cirebon juga harus bersaing dengan masuknya produk tekstil bermotif batik yang diproduksi secara massal dengan teknik cetak mesin. Produk ini dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan batik tulis atau batik cap asli Cirebon yang memerlukan proses pembuatan manual dan waktu lebih lama. Akibatnya, banyak konsumen yang beralih ke produk tersebut tanpa menyadari perbedaan kualitas dan keaslian motif.
Ketua Asosiasi Pengusaha dan Pengrajin Batik Indonesia, Komarudin Kudiya, mengungkapkan bahwa banyaknya produk tekstil bermotif batik yang beredar di pasaran menjadi ancaman bagi keberlangsungan batik tradisional Cirebon. Ia menegaskan bahwa motif khas seperti Mega Mendung memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat ditemukan pada batik hasil cetak. Meskipun demikian, Komarudin tetap optimistis bahwa batik Cirebon memiliki pasar tersendiri dan akan tetap bertahan di tengah persaingan dengan produk tekstil murah. Dengan inovasi dan strategi pemasaran yang lebih baik, diharapkan batik Cirebon dapat terus berkembang dan mempertahankan eksistensinya sebagai warisan budaya Indonesia.