Print

Pemerintah berencana mengeluarkan insentif revitalisasi mesin melalui subsidi kredit investasi sebesar 5% bagi industri padat karya skala kecil dan menengah, termasuk industri tekstil dan produk tekstil. Untuk mendukung kebijakan ini, negara akan menyediakan dana sebesar Rp20 triliun. Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma, menyambut baik langkah pemerintah tersebut dan berharap implementasinya dilakukan secara cermat agar anggaran yang disediakan tidak habis untuk administrasi birokrasi tanpa memberikan dampak signifikan bagi industri.

Meski demikian, Redma menekankan bahwa insentif ini tidak akan efektif tanpa adanya pemberantasan impor ilegal melalui penegakan hukum yang ketat. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya perbaikan kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam mengelola sistem kepabeanan dan meningkatkan integritas aparatnya. Menurutnya, kebijakan pengendalian impor harus diperkuat, baik melalui trade remedies maupun tata niaga, meskipun hal ini kemungkinan akan menghadapi penolakan dari para importir. Pemerintah diharapkan tidak lagi mudah memberikan kelonggaran terhadap aturan impor yang dapat merugikan industri dalam negeri.

Jika kedua aspek tersebut dapat diperbaiki, maka subsidi kredit investasi yang diberikan dapat berjalan lebih efektif dalam meningkatkan daya saing industri tekstil melalui revitalisasi permesinan dan pembaruan teknologi. Redma menegaskan bahwa pengendalian impor harus dilakukan terlebih dahulu sebelum implementasi subsidi investasi, agar kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak positif bagi industri.

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi, turut mengapresiasi langkah pemerintah dalam mendukung daya tahan industri tekstil. Ia menilai bahwa kredit investasi bertujuan untuk revitalisasi mesin dan peningkatan produktivitas di sektor industri padat karya. Namun, dengan kondisi pasar yang masih belum stabil dan permintaan yang lemah, terdapat risiko bahwa upaya revitalisasi ini tidak akan berjalan optimal. Ia juga menyampaikan bahwa skema kredit investasi ini masih belum sepenuhnya diketahui, sehingga dampaknya terhadap industri belum dapat dipastikan.

Senada dengan pandangan tersebut, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menilai bahwa bantuan ini kemungkinan besar hanya akan berdampak pada usaha kelas menengah ke atas yang sudah memiliki peralatan lama dan berbadan hukum. Sementara itu, pelaku industri kecil dan menengah (IKM) masih mengalami kesulitan dalam mengakses bantuan karena banyak yang belum berbadan hukum atau memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Nandi menegaskan bahwa regulasi perlindungan pasar lebih mendesak untuk diterapkan guna memastikan produk pakaian jadi dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor ilegal yang harganya jauh lebih murah.

Ia juga menyoroti perlunya dukungan lain seperti pelatihan untuk meningkatkan daya saing industri kecil. Namun, jika produk dalam negeri masih harus bersaing dengan barang impor ilegal yang jauh lebih murah, maka segala bentuk bantuan tetap tidak akan cukup untuk mendongkrak pertumbuhan industri tekstil nasional. Dengan demikian, kebijakan revitalisasi mesin harus dibarengi dengan strategi pengendalian impor yang efektif agar industri tekstil dalam negeri dapat berkembang secara berkelanjutan.