Menjelang Lebaran 2025, konsumsi masyarakat menunjukkan pola yang tidak biasa. Tidak ada lonjakan belanja seperti tahun-tahun sebelumnya, bahkan beberapa indikator ekonomi seperti deflasi awal tahun, penurunan penjualan riil, dan melemahnya transaksi menggunakan kartu debit serta kredit menegaskan adanya anomali konsumsi di tengah masyarakat.
Laporan dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan bahwa lemahnya konsumsi rumah tangga ini disebabkan oleh tekanan terhadap pendapatan kelompok menengah dan menengah ke bawah. Faktor utama yang berkontribusi adalah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur yang berujung pada penurunan daya beli.
PHK massal di industri tekstil menjadi salah satu pemicu utama. Kasus PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang merumahkan lebih dari 10.000 pekerja pada Februari 2025 hanyalah permulaan. Data CORE menunjukkan bahwa sejak 2022, sebanyak 60 industri tekstil padat karya telah melakukan PHK, mengakibatkan sekitar 227 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Kondisi ini diperburuk dengan catatan Kementerian Ketenagakerjaan yang menunjukkan bahwa hanya dalam bulan Januari 2025, terdapat 3.325 pekerja yang terkena PHK, dengan Jakarta menjadi wilayah terdampak terbesar.
Selain meningkatnya angka PHK, CORE juga mencatat bahwa melambatnya pertumbuhan upah riil semakin memperburuk daya beli masyarakat. Upah riil di sektor manufaktur mengalami kontraksi sebesar 0,7% pada 2024, padahal pada tahun-tahun sebelumnya masih mencatat pertumbuhan rata-rata 5,6%. Kondisi serupa terjadi di sektor pertanian yang mencatat penurunan 0,6%, serta sektor penyedia akomodasi dan makanan minuman yang turun 1,4%. Bahkan sektor perdagangan, meskipun tidak berkontraksi, mengalami perlambatan signifikan dari pertumbuhan 10% pada 2022 menjadi hanya 0,1% pada 2024.
Kombinasi antara meningkatnya angka PHK dan stagnasi pertumbuhan upah riil menjadikan kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah ke bawah semakin terhimpit. Konsumsi yang biasanya meningkat menjelang Lebaran kini mengalami perlambatan, menandai dampak nyata dari krisis daya beli yang tengah melanda. Tanpa solusi yang konkret, situasi ini bisa menjadi tantangan serius bagi perekonomian ke depan.