Indonesia berpotensi menjadi tujuan limpahan barang-barang tekstil impor dari negara-negara seperti China, India, Vietnam, hingga Bangladesh akibat kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan ini memicu kekhawatiran akan berubahnya peta perdagangan global, di mana negara-negara produsen utama tekstil dan produk tekstil (TPT) akan mencari pasar alternatif, dan Indonesia menjadi salah satu yang paling rentan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengungkapkan bahwa dampak dari kebijakan tersebut berpotensi besar menekan industri TPT nasional. Dalam konferensi pers bersama Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Jemmy mendesak pemerintah agar segera menerapkan langkah-langkah perlindungan untuk mengamankan pasar dalam negeri dari gempuran produk impor.
Salah satu langkah yang diusulkan adalah mempertahankan kebijakan persetujuan teknis dan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), karena menurut Jemmy, hal ini tidak memiliki kaitan langsung dengan ekspor ke Amerika Serikat. Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya merespons perang tarif dengan pendekatan serupa, bukan dengan melemahkan pengawasan non-tarif yang selama ini berfungsi sebagai proteksi industri nasional.
Jemmy juga menjelaskan bahwa peluang ekspor ke AS tetap terbuka jika pelaku industri Indonesia mampu memanfaatkan minimal 20% bahan baku dari AS, seperti kapas. Karena AS sendiri tidak dapat menyediakan benang dan kain, maka kombinasi kapas AS dengan serat polyester dan rayon yang diproses di dalam negeri bisa menjadi strategi yang efektif untuk memperkuat rantai pasok domestik dan mengurangi ketergantungan pada produk tekstil jadi dari luar negeri.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor produk tekstil jadi senilai US$ 6,5 miliar dari China, sementara hanya mengimpor kapas dari AS senilai US$ 600 juta. Ketidakseimbangan ini memukul industri dalam negeri, terbukti dari rendahnya tingkat pemanfaatan mesin produksi yang hanya mencapai 45%.
API juga mendorong pemerintah untuk membuka jalur negosiasi timbal balik dengan AS agar importasi kapas bisa ditingkatkan sebagai bentuk trade-off. Hal ini diyakini dapat mendukung pemulihan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja dan memiliki peran penting dalam menjaga daya beli masyarakat.
Selain isu tarif, API turut menyoroti kelemahan dalam pengelolaan dokumen perdagangan internasional, terutama penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA). Dalam tiga tahun terakhir, terindikasi adanya praktik transshipment di mana produk asal China diekspor ke AS dengan menggunakan SKA dari Indonesia. Kondisi ini berujung pada penerapan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap seluruh produsen tekstil Indonesia, meski ekspor tersebut dilakukan oleh pihak non-produsen.
Oleh karena itu, API mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan dan hanya menerbitkan SKA untuk produk yang benar-benar diproduksi di dalam negeri, sebagai upaya mencegah kerugian lebih lanjut dan menjaga kredibilitas ekspor Indonesia di pasar global.