Print

Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam industri tekstil dan garmen akibat melonjaknya tarif impor ke Amerika Serikat yang kini bisa mencapai 47 persen. Kenaikan ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, setelah kunjungan kerjanya ke Washington, AS. Menurutnya, lonjakan tarif tersebut terjadi akibat pemberlakuan tambahan bea masuk sebesar 10 persen oleh pemerintah AS, di luar tarif dasar yang sebelumnya sudah dikenakan antara 10 hingga 37 persen tergantung jenis produknya.

Tambahan tarif ini bukan kebijakan baru sepenuhnya, melainkan kelanjutan dari kebijakan tarif era Presiden Donald Trump yang masih diteruskan hingga kini. Akibatnya, total beban tarif untuk produk tekstil Indonesia dapat melonjak dari 37 persen menjadi 47 persen dalam beberapa kasus. Kenaikan ini dinilai memberikan tekanan besar pada eksportir Indonesia, yang kini harus menanggung sebagian dari biaya tambahan tersebut karena permintaan dari pembeli di AS agar beban biaya dibagi bersama.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi Indonesia karena secara langsung memengaruhi daya saing produk tekstil nasional di pasar Amerika. Beban biaya yang meningkat ini tidak hanya menggerus margin keuntungan, tetapi juga mengancam kelangsungan ekspor ke pasar yang selama ini menjadi salah satu tujuan utama produk tekstil Tanah Air.

Dalam upaya merespons situasi tersebut, Airlangga melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Perdagangan Howard Lutnick. Pertemuan ini menghasilkan komitmen untuk menindaklanjuti pembahasan melalui mekanisme negosiasi diplomatik, yang ditargetkan rampung dalam 60 hari ke depan. Diharapkan dari rangkaian perundingan ini akan lahir sebuah kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan bagi kedua pihak.

Sebagai bagian dari strategi negosiasi, Indonesia juga mengusulkan peningkatan kerja sama ekonomi dengan AS, khususnya dalam hal pembelian energi. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya untuk menyeimbangkan neraca perdagangan antara kedua negara, sekaligus membuka jalan bagi hubungan dagang yang lebih adil di masa depan.