Print

Kebijakan Amerika Serikat yang menetapkan tarif tinggi terhadap tekstil dan produk tekstil (TPT) asal Indonesia dinilai menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri dalam negeri. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan bahwa meskipun tarif untuk China dan Vietnam lebih tinggi, posisi Indonesia tetap tidak menguntungkan karena kalah bersaing dengan negara seperti India dan Pakistan yang memperoleh tarif lebih rendah.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyebut bahwa tambahan tarif ini menggerus daya saing Indonesia secara signifikan, bahkan membuat industri dalam negeri kesulitan bersaing dengan produk lokal AS, meskipun kapasitas produksi TPT di negara tersebut tergolong terbatas. Selama ini, Amerika Serikat menjadi salah satu pasar utama bagi ekspor benang dan kain dari Indonesia, termasuk benang filamen yang diproduksi anggota APSyFI. Namun, sejak 2021 ruang ekspor menyempit akibat praktik transhipment dari China yang memicu penerapan tarif anti-dumping.

Meskipun dampak penurunan pesanan saat ini belum terlalu besar karena masih ada masa penyesuaian selama 90 hari, ancaman sebenarnya datang dari dalam negeri. Banjirnya pasar domestik oleh barang impor murah dinilai menjadi pemicu utama gangguan produksi, bukan semata penurunan ekspor. Tanpa tambahan tarif dari AS pun, sektor TPT nasional sebenarnya telah berada dalam tekanan berat.

APSyFI mendesak pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap industri TPT, sebuah sektor padat karya dengan nilai tambah tinggi. Selama satu dekade terakhir, pemerintah dinilai lalai memberikan perlindungan konkret, baik dalam hal regulasi, pengawasan, maupun insentif. Redma menekankan bahwa pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang tegas dan menyeluruh, bukan hanya menanggapi isu tarif dari luar negeri.

Salah satu langkah mendesak adalah menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor murah yang disebabkan oleh oversuplai global. Pasar dalam negeri seharusnya menjadi penyangga utama produk nasional, namun hal ini sulit terwujud jika kebijakan pemerintah masih didominasi oleh kepentingan impor. Redma juga menyoroti pentingnya membersihkan birokrasi dari pejabat yang memiliki kepentingan dalam arus barang impor.

APSyFI menegaskan bahwa perlindungan industri nasional harus menjadi prioritas melalui kebijakan menyeluruh yang mencakup pembenahan dari hulu ke hilir. Langkah-langkah strategis seperti penguatan regulasi, pengawasan ketat terhadap impor ilegal, serta pemberian insentif dinilai menjadi kunci untuk memastikan keberlangsungan sektor TPT di tengah tekanan global yang semakin kuat.