Print

Industri tekstil Indonesia kini menghadapi tantangan berat setelah Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif impor sebesar 47 persen terhadap produk tekstil dan garmen asal Indonesia. Kenaikan signifikan dari tarif sebelumnya yang berkisar 10 hingga 37 persen ini dinilai memperberat daya saing ekspor nasional, di tengah kondisi domestik yang juga tidak mudah.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa kondisi ini menjadi pukulan ganda bagi industri tekstil dalam negeri. Tak hanya menghadapi hambatan di pasar ekspor, pelaku usaha tekstil juga harus berjibaku melawan gempuran produk impor di pasar domestik. Ia menyebut produk tekstil Indonesia kalah bersaing dengan produk China di dalam negeri, baik dari sisi harga maupun daya tarik desain.

Esther mengungkapkan bahwa terdapat beberapa akar persoalan yang harus segera diatasi jika Indonesia ingin memperkuat industri tekstilnya. Pertama, ketergantungan pada bahan baku impor, terutama dari China, membuat biaya produksi tinggi. Kedua, minimnya sekolah mode atau fashion school di Indonesia menyebabkan desain produk tekstil menjadi kurang menarik dan ketinggalan zaman. Ketiga, mayoritas mesin produksi yang digunakan industri tekstil masih tergolong tua dan tidak efisien.

Masalah lain yang krusial adalah harga produk tekstil Indonesia yang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan produk dari negara pesaing seperti China dan Bangladesh. Hal ini membuat posisi produk dalam negeri semakin terdesak, baik di pasar ekspor maupun lokal.

Dalam situasi seperti ini, Esther menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak pada industri lokal. Ia menolak keras pembukaan kran impor tekstil secara besar-besaran, karena justru akan memperlemah industri dalam negeri. Solusi yang paling realistis saat ini menurutnya adalah memaksimalkan potensi pasar domestik yang luas, dan mencegah dominasi produk asing, khususnya dari China dan India.

Selain itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah strategis yang perlu didorong. Ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat harus dikurangi, dengan mencari peluang ekspor ke negara-negara lain yang lebih terbuka terhadap produk Indonesia.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, membenarkan adanya kenaikan tarif hingga 47 persen untuk produk tekstil Indonesia. Tarif tambahan sebesar 10 persen disebut sebagai dampak dari kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump yang masih berlaku. Airlangga juga menyampaikan bahwa kenaikan tarif ini berdampak langsung pada biaya ekspor, dan para pembeli menginginkan pembagian beban biaya tersebut dengan produsen Indonesia.

Dalam upaya mencari jalan keluar, pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi lanjutan dengan pihak Amerika Serikat. Airlangga telah bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan menyepakati rangkaian perundingan yang ditargetkan rampung dalam 60 hari ke depan. Salah satu poin yang disampaikan Indonesia dalam negosiasi tersebut adalah komitmen untuk meningkatkan pembelian energi dari Amerika Serikat, sebagai bentuk kesepakatan timbal balik.

Dengan tekanan dari luar negeri yang semakin tinggi, industri tekstil nasional kini berada di persimpangan. Untuk tetap bertahan dan berkembang, Indonesia harus mampu memperkuat fondasi industri dalam negeri, mengoptimalkan pasar lokal, dan membenahi berbagai persoalan struktural yang selama ini menghambat daya saing.