Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tekanan berat akibat kebijakan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat. Produk tekstil asal Indonesia kini dikenai bea masuk hingga 47 persen, menambah beban ekspor dan memperparah kondisi industri yang sebelumnya sudah terpukul oleh berbagai faktor, termasuk banjir impor ilegal dan lemahnya daya beli global.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa sebelum tarif baru ini diberlakukan pun industri sudah berada dalam kondisi kritis. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah telah menghentikan operasionalnya, mengakibatkan pemutusan hubungan kerja terhadap 250.000 karyawan. Ia menyoroti lemahnya pengawasan terhadap impor ilegal sebagai penyebab utama menurunnya daya saing produk lokal.
Pandemi sempat memberi napas bagi industri tekstil ketika pasokan dari luar terhenti. Namun, setelah pembatasan global dicabut, gelombang barang impor, termasuk yang ilegal, kembali membanjiri pasar. Banyak perusahaan dalam negeri tak mampu bersaing dan akhirnya gulung tikar.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menambahkan bahwa krisis ini diperparah oleh tekanan global seperti inflasi dan konflik geopolitik. Melemahnya nilai tukar rupiah turut meningkatkan harga bahan baku karena ketergantungan pada impor. Ia juga menyoroti perubahan kebijakan impor dalam negeri, khususnya revisi Permendag No. 36/2023 menjadi No. 8/2024, yang menghapus syarat pertimbangan teknis (pertek) bagi beberapa komoditas, termasuk tekstil. Hal ini dinilai membuka lebih lebar pintu masuk bagi produk asing.
Tambahan tarif dari AS dianggap sebagai pukulan lanjutan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kebijakan ini berasal dari kebijakan tarif timbal balik yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump. Produk tekstil dan garmen kini dikenai tarif mulai dari 20 hingga 47 persen, lebih tinggi dibandingkan negara-negara pesaing di Asia.
Beban ini tidak hanya dirasakan eksportir, tetapi juga berdampak langsung pada tenaga kerja. Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan hingga 1,2 juta pekerja berpotensi kehilangan pekerjaan akibat penurunan permintaan dan produksi. Khusus sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), sekitar 191.000 pekerja dinilai paling berisiko terdampak.
Kondisi ini bahkan menyentuh sektor lain yang terkait, seperti petani sawit dan industri kimia dasar. Produk turunan seperti minyak nabati yang digunakan dalam berbagai produk ekspor juga ikut terkena imbas, dengan potensi kehilangan puluhan ribu lapangan kerja tambahan.
Sejumlah perusahaan tekstil besar telah menyatakan pailit sepanjang 2025. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) tercatat melakukan PHK terhadap lebih dari 10.000 karyawan, sementara PT Mbangun Praja Industri (Bapintri) di Cimahi terpaksa memberhentikan ratusan buruh akibat tekanan keuangan.
Kondisi ini menunjukkan perlunya intervensi serius dari pemerintah untuk melindungi industri tekstil nasional. Tanpa langkah strategis, krisis yang dihadapi bukan hanya akan melemahkan sektor manufaktur, tetapi juga mengancam jutaan pekerja yang menggantungkan hidup pada industri ini.