Pelaku industri tekstil di Indonesia kembali menyuarakan kegelisahan mereka atas maraknya praktik impor ilegal yang merugikan industri dalam negeri. Para pengusaha menilai banyak barang impor borongan masuk tanpa membayar pajak dan melanggar aturan, mulai dari penggunaan label hingga legalitas produk. Kesal dengan situasi tersebut, mereka meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas, bahkan sampai membinasakan pelaku usaha nakal yang merusak pasar domestik.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI pada Senin (28/4/2025), yang disiarkan secara daring, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anne Patricia Susanto serta Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Industri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif menyampaikan keresahan tersebut. RDPU tersebut juga dihadiri oleh perwakilan berbagai asosiasi industri, termasuk tekstil, besi dan baja, kelapa sawit, dan farmasi.
Ian Syarif menuturkan bahwa produk tekstil impor ilegal tersebut dijual jauh lebih murah dibandingkan produk lokal, lantaran mereka tidak membayar pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini membuat produk lokal kehilangan daya saing di pasaran. Ian menegaskan bahwa industri tidak meminta perlakuan khusus atau insentif, melainkan mendesak agar aktivitas ilegal tersebut dihentikan. Ia bahkan menemukan bahwa banyak barang impor yang tidak memenuhi ketentuan label berbahasa Indonesia dan mayoritas adalah barang tiruan atau KW.
Menurut Ian, kondisi ini kian memburuk akibat efek perang tarif global yang membuat banyak negara mencari pasar alternatif selain Amerika Serikat, dengan Indonesia menjadi target utama karena dianggap sebagai pasar potensial untuk produk tiruan. Negara tetangga seperti Malaysia pun melihat peluang besar menjual barang KW ke Indonesia. Akibat derasnya arus barang ilegal ini, jumlah industri tekstil nasional menurun drastis. Data menunjukkan bahwa jumlah industri tekstil turun dari 2.972 pada 2017 menjadi 1.985 pada 2022, sedangkan industri pakaian jadi turun dari 2.738 menjadi 2.027 pada periode yang sama. Utilisasi produksi juga anjlok hingga tinggal 55,3% di sektor tekstil dan 66% di sektor pakaian jadi.
Anne Patricia Susanto menambahkan bahwa situasi ini diperparah oleh kebijakan tarif baru Amerika Serikat yang berdampak pada negara-negara dengan perjanjian perdagangan bebas, seperti Yordania, Honduras, Venezuela, dan Meksiko. Anne memperingatkan bahwa tanpa adanya negosiasi tarif resiprokal, investor asing yang berbasis di Indonesia khususnya pada industri tekstil berbahan kapas, bisa saja berpindah ke negara lain.
Ia berharap Komisi VII DPR RI dapat mendukung langkah-langkah pemerintah dalam memitigasi risiko tersebut dan memastikan Indonesia tetap kompetitif dibandingkan negara lain seperti China, Vietnam, Kamboja, Bangladesh, India, dan Filipina. Anne juga menekankan pentingnya memberi dukungan lebih besar kepada pelaku industri yang sudah patuh terhadap regulasi, sambil menindak tegas pelaku usaha ilegal. Ia bahkan menyatakan dengan tegas bahwa jika pengusaha nakal tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan demi melindungi industri nasional.