Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka peluang baru dalam peta perdagangan dan investasi global, termasuk bagi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) melihat potensi berkah dari situasi ini, dengan berbagai rencana investasi baru dan reaktivasi kapasitas produksi di sektor hulu, khususnya untuk produk polyester.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa selain membidik pasar ekspor ke AS, para investor juga menargetkan pasar domestik yang memiliki tingkat konsumsi cukup besar. Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi normal, konsumsi serat polyester dan filament nasional bisa mencapai 1,4 juta ton, namun pada 2024 konsumsi hanya berada di kisaran 880.000 ton, dengan 54% di antaranya masih berasal dari impor. Tiga anggota APSyFI direncanakan akan mereaktivasi kapasitas produksi pada tahun ini, sementara satu perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) akan mulai beroperasi tahun depan.
Rencana tersebut akan menambah sekitar 190.000 ton serat polyester, 250.000 ton Partially Oriented Yarn (POY), dan 50.000 ton Draw Twisted Yarn (DTY). Total nilai investasi diperkirakan mencapai sekitar US$ 250 juta, belum termasuk dua investasi PMA lain yang saat ini tengah dalam tahap penjajakan untuk relokasi ke Indonesia.
Redma menjelaskan bahwa optimisme ini muncul setelah Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan menegaskan komitmennya mempertahankan regulasi Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Perteks) untuk produk TPT. Selain itu, rencana penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk benang filament (POY-DTY) dan berbagai produk tekstil lainnya dinilai sebagai langkah strategis untuk memperkuat industri dalam negeri.
APSyFI menekankan pentingnya pemerintah menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor selama ketidakpastian akibat perang dagang berlangsung. Redma juga meminta agar pemerintah melakukan negosiasi tarif secara cermat dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan keuntungan lebih besar bagi sektor industri nasional.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, mengingatkan bahwa perang dagang mendorong negara seperti China dan Vietnam mencari pasar alternatif, dengan Indonesia menjadi salah satu sasaran utama. Dengan jumlah penduduk besar, Indonesia dianggap sebagai pasar potensial untuk pengalihan produk tekstil dari kedua negara tersebut.
KAHMI Rayon Tekstil meminta pemerintah segera menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024, yang mensyaratkan Pertimbangan Teknis (Perteks) dalam proses penerbitan Persetujuan Impor untuk pakaian jadi, sebagaimana telah diberlakukan untuk produk serat, benang, dan kain. Agus juga mendesak pemerintah agar lebih berani menerapkan berbagai instrumen trade remedies seperti anti dumping dan safeguard untuk mendukung substitusi impor, meningkatkan utilisasi industri, serta mendorong pertumbuhan investasi.
Agus juga menyoroti maraknya praktik transhipment, di mana Indonesia dijadikan tempat transit barang dari negara lain sebelum diekspor ke Amerika Serikat. Ia memperkirakan sekitar 20% ekspor Indonesia ke AS pada 2024 merupakan barang transhipment dari China. Agus menilai lemahnya verifikasi dalam penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) menjadi celah terjadinya praktik ini, dan meminta Kementerian Perdagangan segera memperbaiki aturan serta memperkuat koordinasi dengan dinas terkait di daerah untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi produsen dalam negeri.