Print

Langkah ekspansi tenaga kerja yang dilakukan PT Duniatex dengan menambah sekitar 5.000 karyawan dalam dua tahun terakhir belum cukup menjadi penanda pulihnya industri tekstil nasional. Saat ini, jumlah tenaga kerja perusahaan tersebut mencapai 18.000 orang, naik dari sebelumnya 12.000. Meski perkembangan ini layak mendapat apresiasi, kondisi sektor tekstil secara umum masih dinilai rapuh dan belum stabil.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang juga pengurus Apindo, Danang Girindrawardana, ekspansi yang dilakukan Duniatex lebih mencerminkan pemulihan internal perusahaan, bukan pemulihan struktural industri secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa sebelum pandemi, perusahaan ini pernah mempekerjakan lebih dari 50.000 orang. Dengan angka sekarang yang baru mencapai 18.000, kondisi tersebut belum mencerminkan kinerja optimal industri.

Selain itu, perbaikan kinerja ekspor tekstil pada kuartal pertama 2025 masih dinilai fluktuatif. Sementara itu, pasar domestik terus mengalami tekanan akibat membanjirnya barang jadi impor, baik yang masuk secara legal maupun ilegal. Hal ini memperparah kondisi pelaku industri tekstil dalam negeri. Danang menegaskan bahwa pemerintah harus segera menjadikan pengendalian impor sebagai prioritas utama guna menyelamatkan pasar lokal.

Kritik juga dilontarkan terhadap lambatnya respon pemerintah dalam melindungi sektor padat karya seperti industri tekstil. Selama enam bulan pemerintahan baru berjalan, belum ada satu pun regulasi konkret yang diterbitkan untuk menopang keberlangsungan industri ini. Tekanan terhadap sektor tekstil bahkan kian meningkat akibat kelebihan pasokan global, khususnya dari China. Setelah ekspor produk tekstil China ke Amerika Serikat menurun, negara tersebut justru semakin agresif membanjiri pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan produk murahnya.

Danang mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah nyata agar proses pemulihan industri tekstil tidak hanya berlangsung sementara. Ia menyoroti tiga langkah penting yang perlu dilakukan segera, yaitu pengendalian impor produk jadi, penguatan kebijakan antidumping dan safeguard, serta penempatan sektor padat karya sebagai prioritas utama dalam setiap negosiasi dagang.

Pemulihan Tekstil Nasional Masih Jauh, Ekspansi Duniatex Belum Jadi Indikator

Langkah ekspansi tenaga kerja yang dilakukan PT Duniatex dengan menambah sekitar 5.000 karyawan dalam dua tahun terakhir belum cukup menjadi penanda pulihnya industri tekstil nasional. Saat ini, jumlah tenaga kerja perusahaan tersebut mencapai 18.000 orang, naik dari sebelumnya 12.000. Meski perkembangan ini layak mendapat apresiasi, kondisi sektor tekstil secara umum masih dinilai rapuh dan belum stabil.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang juga pengurus Apindo, Danang Girindrawardana, ekspansi yang dilakukan Duniatex lebih mencerminkan pemulihan internal perusahaan, bukan pemulihan struktural industri secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa sebelum pandemi, perusahaan ini pernah mempekerjakan lebih dari 50.000 orang. Dengan angka sekarang yang baru mencapai 18.000, kondisi tersebut belum mencerminkan kinerja optimal industri.

Selain itu, perbaikan kinerja ekspor tekstil pada kuartal pertama 2025 masih dinilai fluktuatif. Sementara itu, pasar domestik terus mengalami tekanan akibat membanjirnya barang jadi impor, baik yang masuk secara legal maupun ilegal. Hal ini memperparah kondisi pelaku industri tekstil dalam negeri. Danang menegaskan bahwa pemerintah harus segera menjadikan pengendalian impor sebagai prioritas utama guna menyelamatkan pasar lokal.

Kritik juga dilontarkan terhadap lambatnya respon pemerintah dalam melindungi sektor padat karya seperti industri tekstil. Selama enam bulan pemerintahan baru berjalan, belum ada satu pun regulasi konkret yang diterbitkan untuk menopang keberlangsungan industri ini. Tekanan terhadap sektor tekstil bahkan kian meningkat akibat kelebihan pasokan global, khususnya dari China. Setelah ekspor produk tekstil China ke Amerika Serikat menurun, negara tersebut justru semakin agresif membanjiri pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan produk murahnya.

Danang mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah nyata agar proses pemulihan industri tekstil tidak hanya berlangsung sementara. Ia menyoroti tiga langkah penting yang perlu dilakukan segera, yaitu pengendalian impor produk jadi, penguatan kebijakan antidumping dan safeguard, serta penempatan sektor padat karya sebagai prioritas utama dalam setiap negosiasi dagang.