Anggota Komisi XI DPR RI, Fathi, mendorong evaluasi terhadap kebijakan impor bahan baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT), khususnya dalam kategori pengawasan yang ditetapkan oleh Bea Cukai. Hal ini disampaikan dalam kunjungan kerja spesifik Komisi XI ke PT Budi Agung Sentosa, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Jumat (16/5).
Dalam kunjungannya, Fathi mengapresiasi eksistensi pabrik TPT yang masih bertahan dan menunjukkan kinerja positif. Ia mengungkapkan bahwa anggapan banyaknya pabrik tutup karena maraknya impor ilegal tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, penurunan kinerja industri lebih disebabkan oleh strategi bisnis yang kurang tepat dan penggunaan teknologi produksi yang sudah usang.
Tantangan terbesar yang dihadapi industri TPT, kata Fathi, bukan semata pada faktor eksternal, melainkan pada efisiensi produksi yang rendah akibat penggunaan mesin-mesin lama yang tak mampu bersaing dengan teknologi modern. Hal ini menyebabkan biaya produksi membengkak dan daya saing menurun.
Ia juga menyoroti klasifikasi pengawasan impor bahan baku, terutama polyester, yang hingga kini masih masuk dalam kategori barang merah oleh Bea Cukai. Menurutnya, hal ini tidak tepat karena bahan polyester merupakan bahan baku utama yang sebagian besar masih harus diimpor oleh pelaku industri dalam negeri. Perlakuan ini berdampak pada peningkatan biaya dan keterlambatan proses produksi.
Fathi menegaskan pentingnya membedakan antara impor produk jadi dan impor bahan baku, karena pengawasan yang terlalu ketat terhadap bahan baku justru menghambat pertumbuhan industri nasional. Ia mendesak Bea Cukai untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan kompetitif.
Dalam pernyataannya, Fathi menekankan peran strategis Bea Cukai dalam mendukung pertumbuhan industri nasional. Ia berharap adanya relaksasi serta kebijakan yang lebih adaptif dalam pengawasan impor, khususnya untuk bahan baku yang bersifat strategis bagi industri dalam negeri.