Print

Pemerintah diminta menolak usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terkait penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen tertentu yang tarifnya diusulkan mencapai 42,3 persen. Kebijakan ini dinilai berpotensi membebani pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri, yang sebagian besar masih mengandalkan bahan baku impor.

Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menilai bahwa usulan tarif BMAD yang terlalu tinggi perlu dikaji secara mendalam, mengingat dampaknya tidak hanya menyasar sektor industri, tetapi juga karyawan dan stabilitas pemerintahan yang akan datang. Menurutnya, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) merupakan bahan baku vital dalam industri tekstil, dan kebutuhannya di Indonesia mencapai 257,6 ribu ton per tahun. Sementara itu, kapasitas produksi nasional hanya sekitar 141,91 ribu ton, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar 115,7 ribu ton yang harus dipenuhi melalui impor.

Fernando menegaskan, jika BMAD diterapkan dalam kondisi kekurangan pasokan bahan baku seperti sekarang, hal itu akan berdampak luas terhadap pelaku industri, terutama UMKM yang jumlahnya mencapai satu juta unit, serta lebih dari 5.000 perusahaan tekstil skala besar dan menengah. Kekurangan bahan baku akan memperlambat produksi, menghentikan operasional pabrik, dan pada akhirnya memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Tak hanya itu, penerapan tarif tinggi juga akan mengurangi daya saing industri tekstil lokal terhadap produk asing. Biaya produksi yang meningkat akibat mahalnya bahan baku akan membuat hasil produksi dalam negeri kalah bersaing di pasar global. Hal ini, menurut Fernando, akan berdampak negatif pada pendapatan negara dan stabilitas industri nasional.

Ia mengingatkan bahwa lebih dari 3 juta pekerja menggantungkan hidupnya pada sektor TPT. Jika pemerintah memaksakan pemberlakuan BMAD dalam kondisi seperti ini, maka risiko PHK besar-besaran bisa menjadi kenyataan. Berdasarkan data nasional dari tahun 2022 hingga 2024, tercatat lebih dari 50 perusahaan tekstil tutup dan melakukan PHK terhadap para pekerjanya, menunjukkan kondisi industri yang masih rentan.

Fernando menyampaikan kekhawatirannya bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada industri justru akan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai negara industri dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Ia berharap pemerintah bersikap bijak dan tidak memaksakan kebijakan yang berpotensi melemahkan sektor industri yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Dengan dukungan kebijakan yang tepat, Fernando optimistis industri TPT nasional bisa semakin kompetitif dan berkontribusi dalam mewujudkan janji-janji pembangunan, termasuk di masa pemerintahan Presiden Prabowo mendatang.