Print

Rencana penerapan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap benang filamen sintetik jenis Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) menuai penolakan keras dari pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Kebijakan ini dinilai berpotensi menghantam keras ekosistem industri tekstil, bahkan dapat mengakibatkan sejumlah perusahaan gulung tikar dan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Amril Firdaus, seorang produsen benang asal Bandung, mengungkapkan bahwa wacana penerapan BMAD ini telah muncul sejak setahun lalu berdasarkan surat penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Ia menyatakan bahwa pihaknya telah bersurat kepada otoritas terkait karena sebagian besar bahan baku benang, khususnya POY, masih harus diimpor. Jika BMAD diberlakukan, maka ketersediaan bahan baku akan terancam dan industri akan mengalami kesulitan besar.

Firdaus menjelaskan bahwa kebutuhan benang dalam negeri masih jauh dari cukup untuk memenuhi permintaan produksi. Apabila kebijakan tersebut tetap dijalankan, maka dampaknya akan sangat signifikan terhadap operasional pabriknya. Dengan margin keuntungan yang hanya sekitar Rp 500 hingga Rp 1.000 per produk, kenaikan biaya akibat BMAD sebesar 5 persen saja dapat membuat biaya produksi naik Rp 1.500, yang berarti perusahaan mengalami kerugian dan terpaksa menutup pabrik.

Ia meminta perlindungan dari pemerintah terhadap industri tekstil dalam negeri. Menurutnya, laporan terakhir menunjukkan usulan BMAD berkisar antara 5 hingga 40 persen, angka yang sangat memberatkan. Bersama ratusan pelaku industri lainnya, Firdaus menyatakan telah mengajukan data keberatan kepada KADI sebagai upaya penolakan kebijakan ini.

Meski demikian, Firdaus menyatakan dirinya tidak menolak konsep BMAD secara keseluruhan. Ia justru mendukung penerapannya jika ditujukan pada produk jadi seperti kain atau garmen, demi melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang impor murah. Ia meyakini bahwa dengan perhatian serius dari pemerintah, Indonesia memiliki potensi besar untuk bangkit dan kembali mencapai swasembada tekstil seperti pada masa kejayaannya di tahun 1990-an, ketika bahkan Tiongkok menjadi pelanggan industri tekstil nasional.