Kondisi industri tekstil nasional saat ini tengah menghadapi tantangan besar akibat praktik dumping yang dilakukan oleh eksportir asal China. Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII), Sripeni Inten Cahyani, menyayangkan lambatnya respons pemerintah dalam memberikan kepastian terkait pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang POY-DTY asal China. Menurutnya, penundaan ini telah menimbulkan dampak serius, mulai dari gulung tikarnya dua pabrik dalam negeri hingga terhambatnya investasi senilai USD 250 juta atau sekitar Rp 4 triliun.
Sripeni menegaskan bahwa Indonesia memiliki semua elemen penting untuk memperkuat sektor industri hulu, mulai dari sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang sudah terbukti, hingga sumber daya manusia yang kompeten. Namun, tanpa kepastian regulasi dan keberpihakan yang nyata dari pemerintah, potensi ini tidak akan berkembang maksimal. Ia menyebut bahwa revitalisasi industri yang sudah ada bisa dilakukan dengan cepat, asalkan ada kepastian dan keberanian mengambil keputusan strategis.
Temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dari Kementerian Perdagangan yang mengonfirmasi adanya praktik dumping semakin menguatkan urgensi perlindungan terhadap industri lokal. Praktik dumping tidak hanya merugikan produsen dalam negeri, tetapi juga menghambat realisasi investasi sektor hulu yang strategis. Dalam konteks ini, BMAD bukan sekadar tarif tambahan, melainkan bagian dari upaya menjaga kedaulatan industri nasional dari praktik perdagangan yang tidak adil.
Sripeni juga menyoroti pentingnya sinyal jelas dari pemerintah kepada pelaku industri dan investor. Ketidakjelasan arah kebijakan membuat iklim usaha tidak kondusif dan menyebabkan pelaku industri dalam negeri kehilangan daya saing. Ia mengkritik kondisi saat ini, di mana industri yang telah berjalan justru terancam berhenti, sementara pelaku asing terus mendapatkan berbagai kemudahan.
Lebih jauh, Sripeni menautkan persoalan ini dengan visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dan swasembada energi. Menurutnya, cita-cita tersebut tidak akan tercapai jika fondasi industri nasional, khususnya di sektor hulu seperti tekstil, tidak diperkuat. Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki ekosistem tekstil lengkap dari hulu hingga hilir, dan potensi ini seharusnya dimanfaatkan secara optimal.
Sripeni juga menyinggung peluang pengembangan industri energi berbasis batubara yang belum dimaksimalkan. Ia mencontohkan bagaimana Indonesia masih mengekspor batubara ke China, yang kemudian diolah menjadi metanol dan diimpor kembali dengan harga tinggi. Padahal, Indonesia bisa mengolah batubara kalori rendah menjadi metanol sendiri untuk keperluan produksi biodiesel atau DME (dimethyl ether) sebagai substitusi LPG. Menurutnya, pengembangan industri seperti ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan lapangan kerja baru.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya penerapan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara konsisten sebagai upaya perlindungan dan penguatan industri nasional. Tanpa keberpihakan yang nyata dan tegas dari pemerintah, cita-cita kemandirian industri akan sulit diwujudkan dan Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang dominasi produk impor yang merugikan.