Print

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi hingga Mei 2025 di Indonesia memicu kekhawatiran luas di kalangan pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 24.000 pekerja telah mengalami PHK dari Januari hingga April, jumlah yang sudah melebihi sepertiga total PHK sepanjang 2024. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah yang lebih besar, yakni lebih dari 40.000 pekerja, dan memperkirakan angka ini bisa mencapai 70.000 orang pada akhir tahun.

Tiga provinsi yang mengalami dampak terparah adalah Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau. Beberapa sektor yang paling terdampak termasuk industri pengolahan, perdagangan, jasa, serta sektor padat karya dan manufaktur. Industri media pun tak luput dari gelombang PHK ini. Salah satu contoh paling mencolok adalah Sritex, perusahaan tekstil besar, yang merumahkan lebih dari 11 ribu buruh setelah dinyatakan pailit.

Sejumlah faktor menjadi penyebab utama gelombang PHK tersebut, antara lain perlambatan ekonomi nasional dan global, menurunnya daya beli masyarakat, hingga serbuan produk impor murah yang menekan industri lokal. Biaya produksi yang meningkat, perubahan regulasi ketenagakerjaan, dan berkembangnya teknologi juga turut memperburuk keadaan.

Apindo mengungkapkan bahwa dari 357 perusahaan yang disurvei pada Maret 2025, sebanyak 65% menyebut PHK sebagai opsi utama akibat menurunnya permintaan. Sebanyak 43,4% lainnya menyalahkan tingginya biaya produksi, sementara sisanya menyebut faktor regulasi upah minimum, tekanan produk impor, dan otomasi sebagai penyebab PHK. Tak hanya itu, 67,1% perusahaan menyatakan tidak akan melakukan investasi baru dalam waktu dekat.

Pemerintah pun merespons situasi ini dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK. Namun, detail mengenai fungsi dan langkah konkret satgas ini masih belum jelas. Pemerintah juga didorong untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi pekerja yang terdampak, agar dapat beralih ke sektor informal atau menjadi wirausaha. Kebijakan seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga dinilai perlu diperkuat.

Ancaman gelombang PHK massal, termasuk potensi 280.000 pekerja di sektor tekstil yang terancam, menuntut respons yang cepat dan terukur. Diperlukan langkah strategis seperti revisi regulasi ketenagakerjaan, proteksi industri dalam negeri dari produk impor, serta peningkatan daya saing tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan vokasi.

Komisi IX DPR RI didesak untuk lebih aktif dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif, menjaga iklim investasi, dan mengurangi ketimpangan hubungan industrial. Selain itu, pemerintah juga harus menciptakan lapangan kerja berkualitas yang mampu menampung peningkatan jumlah penduduk usia kerja, serta mengatasi kesenjangan gender dalam partisipasi tenaga kerja.

Lonjakan angka PHK bukan sekadar isu ketenagakerjaan, tetapi juga persoalan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Jika tidak segera ditangani, gelombang PHK ini berpotensi mendorong kenaikan angka kemiskinan, memperlebar jurang ketimpangan, dan memperburuk kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat perlu bergandeng tangan menghadapi tantangan besar ini sebelum situasi berkembang menjadi krisis ketenagakerjaan yang lebih dalam.